RSS

Senin, 30 November 2009

PKL; Sektor Informal Yang Dianaktirikan

Ceritanya, artikel ini dibuatnya kira-kira 2 bulan lalu, lalu nyoba dikirim ke salah satu koran di Pontianak. Simple aja, idenya dapat sewaktu pulang ngeles, trus liatin sat Pol PP yang lagi menertibkan PKL.

Udah yakin banget gak bakalan terbit, eh...tiba-tiba banyak yang sms, bilang selamat tulisannya terbit. walah...orang saya sendiri aja gak tahu... padahal sudah lama dikirimnya... Ya, semoga bs buat pencerahan bg kt semua...



PKL; Sektor Informal Yang Dianaktirikan

Oleh: Safriyanti


PKL (Pedagang Kaki lima) adalah sebuah fenomena yang tak pernah habis untuk dibicarakan. PKL adalah bagian dari sektor informal perekonomian yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat. Menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Keberadaannya mampu menjadi peredam gejolak sosial penggangguran, karena daya serap tenaga kerjanya yang sangat tinggi. Sebuah posisi yang cukup penting, mengingat tiap tahun penggangguran bertambah kurang lebih tiga juta orang. Apalagi, berbagai krisis yang dialami seluruh lapisan masyarakat di negara ini, jumlah penggangguran meningkat, sedang ketersediaan lahan pertanian tidak memadai. Karena alasan itulah, mereka yang tidak memiliki bakat, keterampilan dan pendidikan yang memadai lebih memilih profesi sebagai pedagang sektor informal mengingat modal yang dikeluarkan tidaklah terlalu besar dan relatif mudah untuk dikerjakan.


Namun, kehadiran PKL khususnya di kota-kota besar sepertinya masih menjadi momok sekaligus PR pemerintah kota. Bahkan di negara maju sekalipun, PKL masih menjadi isu yang tak habis untuk dibicarakan dan menanti solusi. Konon, istilah PKL sendiri merupakan warisan sejarah zaman belanda yang dahulunya biasa menertibkan pedagang pinggir jalan. Mereka boleh berdagang, dengan syarat dagangannya ditaruh 5 feed (5 kaki) dari jalan raya. Lebih apes lagi, PKL biasanya menjadi tertuduh utama dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan tata kota, seperti kesemrawutan lalu lintas, hingga memperburuk wajah kota. Walhasil, pekerja sektor informal ini menjadi sasaran empuk penertiban oleh petugas SATPOL PP, terlebih saat kedatangan pejabat negara.


Kategori pedagang kaki lima sendiri secara umum menyangkut semua orang yang berjualan di pinggir jalan, yang memungkinkan menyebabkan kemacetan lalu lintas. Termasuk mereka yang menggelar tikar di pinggir jalan dan pinggir trotoar atau yang mendirikan bangunan-bangunan di atas parit yang dikenal dengan sebutan lapak, serta warung kecil maupun gerobak sebagai media berjualan.


Dari segi perekonomian, sektor informal yang di’anak tirikan’ ini cukup memberikan andil besar. Hal ini terbukti dari jumlah nasabah BMT (Baitul Maal Wattamwil) ataupun CU (Credit Union) yang sebagian besar berasal dari pedagang kaki lima dan masyarakat menegah ke bawah. Umumnya, pinjaman yang dilakukan tidak begitu besar, antara 500 ribu sampai satu juta rupiah. Sehingga pengembaliannya dapat dilakukan dengan lancar.


Secara kuantitatif, keberadaan PKL di kota Pontianak sendiri cukup besar bahkan makin menjamur meskipun penertiban telah dilakukan. Perkembangan sektor ini sedemikian pesatnya. Belakangan kasus penertiban PKL itu sendiri semakin menjadi isu yang cukup strategis di masyarakat, bahkan menimbulkan sikap pro kontra, mengingat penertiban yang dilakukan belaknagan ini oleh SATPOL PP dinilai sedikit kurang humanis.


Suatu kali, penulis pernah menyaksikan sendiri kegiatan penertiban yang dilakukan oleh petugas Kamtib, di jalan H. Rais A. Rahman. Pembongkaran yang dilakukan menyedot perhatian banyak orang yang sedang berlalu lalang. Saat itu petugas penertiban sedang membongkar gerobak pedagang kaki lima dan dengan (maaf) seenak hati melemparkan barang dagangannya tanpa memperdulikan para pedagang yang menangis dan histeris.. Ketika ditanya oleh wartawan yang sedang mengadakan liputan di lokasi kejadian, petugas Kamtib menjawab alasannya bahwa para PKL sudah diberi peringatan sebelumnya. Hal yang sama juga disaksikan penulis ketika melintasi jalan sungai raya dalam yang saat itu sedang dilakukan penertiban lapak PKL yang diwarnai aksi ricuh petugas Kamtib dengan mahasiwa dan PKL itu sendiri.


Menurut penulis, meskipun keberadaan PKL sendiri kebanyakan belum terdaftar, tercatat dan belum berbadan hukum, tapi alangkah baiknya jika penertiban dilakukan dengan cara-cara yang lebih persuasif dan humanis. Bagaimanapun, penertiban membuat mereka kehilangan mata pencaharian. Sedikit menyesalkan apa yang sering terlihat dan diberitakan di koran-koran tentang penertiban yang dilakukan, yang menimbulkan sinyalir dari masyarakat bahwa pemerintah seperti tidak berniat melindungi pedagang kecil. Upaya dialogis antara pemerintah dan pedagang kaki lima merupakan langkah yang perlu ditempuh. Yang dibutuhkan para pedang kaki lima hanyalah kejelasan daerah tempat mereka berjualan, bukan ketegasan.


Sejauh ini, kita melihat sendiri betapa sektor formal yang tampak heboh dan glamor itu tidak dapat survive sendiri tanpa sektor informal. Contoh kecil keberadaan mall sebagai pusat perbelanjaan modern saat ini. Kenyataannya, tidak semua masyarakat kita sepenuhnya mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berbelanja di mall saja, apalagi bagi mereka yang kelasnya menengah kebawah. Kadang masyarakat lebih merasa nyaman dengan berbelanja barang pelengkap di pinggir-pinggir jalan. Lebih mudah ditemukan dan biasanya harganya lebih terjangkau.


Kenyataannya, PKL memang sektor informal dengan legalitas yang dipertanyakan, mereka menggunakan lahan di luar kebijakan pemerintah, mereka terkadang juga mengganggu keberadaan prasarana lainnya. Masalah PKL memang masalah yang pelik, tapi penulis yakin pasti hal ini bisa diselesaikan tanpa harus melanggar hak asasi para PKL maupun merugikan pemerintah dan masyarakat lainnya. Jangan hanya karena alasan legalitas, lalu sektor informal disisihkan.


Seharusnya sektor formal dan informal tidak dibedakan atau dipisahkan, tapi dibuat rentangan usaha. Bagaimanapun kedua sektor tersebut saling topang. Jika dikembangkan, keduanya dapat menjadi satu kesatuan yang utuh dalam menopang perekonomian masyarakat. Karena, pembagian kerja dalam masyarakat merupakan suatu tanda manajemen yang baik. Dan setiap unsur yang bermain di dalamnya memiliki perannya masing-masing sekecil apapun bentuknya, tak terkecuali peran pedagang kaki lima. Kejelasan tempat berjualan, pembinaan, dan pendekatan persuasif akan lebih efektif ketimbang kekerasan

0 komentar: