RSS

Kamis, 27 Maret 2008

Antara Pengenalan Kampus dan Penjajahan Intelektual

Oleh : Safriyanti

Surprise! Ketika seorang siswa lulusan SMA yang telah mengikuti proses pendaftaran UMPTN yang sekarang di ganti dengan SPMB dan segenap proses pendaftaran di nyatakan lulus masuk ke universitas, yang hal itu berarti pula berubahnya status mereka dari siswa menjadi mahasiswa. Namun, tidak sampai di situ saja, yang pastinya akan ada proses demi proses yang harus di lalui kembali mulai dari pendaftaran ulang sampai satu babak yang bila mendengarnya maka akan terbayanglah proses-proses ‘menyeramkan’ yaitu Orientasi Study dan Pengenalan Kampus atau yang lebih sering di dengar dengan istilah OSPEK.
Kampus adalah hutan belantara! Kalimat yang sepertinya menjadi alasan tepat untuk penyelenggaraan kegitan ritual tahunan ini. Yang bila kita tidak mengetahui jalannya maka kita akan tersesat. Maka sebelum seorang masuk kehutan hendaklah ia terlebih dahulu di kenalkan pada kondisi atau keadaan hutan tersebut. Bila kampus di analogikan dengan hutan, maka sebelum mahasiswa baru lebih jauh masuk ke dalam kampus, maka ia harus terlebih dahulu kenal dengan kondisi kampus tempat nantinya proses belajar di lakukan.
OSPEK, apapun namanya kini, tetap saja muatannya orientasi yang bila di terjemahkan bentuknya adalah pengenalan kampus. Tentu saja yang di sebut sebagai pengenalan adalah proses memberitahukan atau menginformasikan kepada mahasiswa baru hal-hal yang berkenaan dengan kampus baik itu tata letak kampus, perkuliahan, administrasi akademis sampai keorganisasian mahasiswa, bukan yang lainnya. Bilapun ada tentu tak lari dari fungsi kemahasiswaan dan proses perkuliahan.
Namun, entah mengapa proses pengenalan ini dari dulu hingga sekarang terkesan cofy paste. Betapa tidak, junior yang nota bene nya peserta pada tahun kemaren dan merasa tertindas hak-haknya, tak elak lagi akan melakukan hal yang serupa ketika menjadi senior dengan nota bene nya panitia. Sehingga proses yang seharusnya berbasiskan adaptasi dan sosialisasi mahasiswa baru tentang kampus menjadi ‘moment balas dendam’ dan penjajahan intelektual terhadap mahasiswa baru, yang dari tahun ke tahun terus berlanjut.
Suara miring tentang OSPEK ini semakin lama semakin keras seiring dengan turus jatuhnya korban. Dan sudah bukan rahasia lagi bahwasanya OSPEK yang di laksanakan seringkali di salahgunakan bahkan di tepatgunakan sebagai acara perpeloncoan yang sebenarnya sangat jauh dari tujuan kependidikan.
Berdasarkan pengalaman ketika menjadi panitia OSPEK, menurut penulis, OSPEK dalam bentuk kegiatan fisik yang di warnai dengan aksi penindasan mental, penjajahan hak dan kekerasan dengan alasan melatih mental peserta ini, lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Karena selain lari dari konsepnya yaitu ‘orientasi’ OSPEK juga mencerminkan prilaku primitif dalam tradisi intelektual. Bukti nyata adalah kurang lebih satu pekan mahasiswa baru di wajibkan hadir lengkap dengan pakaian dan atribut yang telah di tetapkan oleh panitia yang nyatanya di lapangan tidak terlalu diperlukan bahkan ‘merepotkan’ peserta. Padahal sebaliknya di perkuliahan mahasiswa di haruskan berpakaian rapi dan sopan. Jadi, jelas tidak edukatif.
Agak lucu rasanya, kampus yang merupakan institusi pendidikan yang seharusnya memberikan pencerahan logika dan mempelopori gerakan anti kekerasan dengan menghapus sistem perpeloncoan malah memberi peluang terjadinya akses-akses kekerasan melalui OSPEK. Lalu di mana akan di letakkan prinsip-prinsip intelektualitas bila kegiatan pengojolokan yang merupakan warisan kolonial yang penuh nilai-nilai kesewenangan dan ketidak beradaban justru terjadi dalam dunia kependidikan berbasis kampus, tempat di mana manusia di tempa menjadi beradab. Hasilnya? Tentu saja generasi yang di hasilkan kampus adalah generasi penindas, yang tidak bermoral atau generasi hasil penindasan, yang tidak tidak percaya diri dan tidak berdaya saing.
Memanusiakan manusia, memahasiswakan mahasiswa dengan mengembangkan daya kritis, ilmiah dan religius pada diri Mahasiswa yang merupakan sumber daya bangsa masa depan (iron stock). Itu yang jarang di sentuh pada OSPEK mahasiswa kini.
Tulisan ini tidak bermaksud menentang kegiatan Orientasi Study dan Pengenalan Kampus (OSPEK) karena pada dasarnya penulis sepakat bila OSPEK tetap di laksanakan. Karena tidak dapat di pungkiri ada sisi-sisi positif dari kegiatan ini. Tetapi bukankan kegiatan ini dapat di lakukan dengan cara-cara friendly dan lebih humanis bukannya mematikan daya kritis mahasiswa baru. Selain itu, yang harus di garis bawahi adalah bagaimana melakukan pencerahan kembali pada OSPEK dengan mengembalikan secara benar etika, wacana dan prinsip-prinsip kemahasiswaan dan kependidikan. Karena kita semua tentu sepakat bila proses awal yang benar tentu akan menghasilkan akhir yang benar pula yang mana proses itu di laksanakan dengan manajemen yang jelas dan rapi serta sikap yang bijaksana, penuh keteladanan dari para panitia.


*Penulis adalah Mahasiswa Bahasa Inggris FKIP Untan, Ketua Bidang PSDM ESA
" this article has been published in Pontianak Post on September 2006"



#artikel pertama kali terbit d koran