RSS

Selasa, 30 Juni 2009

Saya Mulai Percaya itu

”Dalam hidup ini aku hanya diajarkan untuk kehilangan…
Untuk mempertahankan apa yang tidak akan ku miliki…
Untuk mencintai orang yang salah…
Untuk menyayangi orang yang akan pergi…
Dan untuk menghadapi mimpi dalam hidup nyata...”


Sepenggal tulisan diatas milik seorang teman yang saya copy paste dari profile face booknya. Teman yang umurnya mungkin lumayan jauh dari saya. Tapi saya yakin pengalamannya luar biasa hebatnya dan luar biasa banyaknya. Saya tak mengenalnya begitu dekat. Hanya tahu bahwa ia adalah orang yang pertama mengenalkan saya pada dunia broadcasting. Selebihnya, saya hanya mengenalnya sepintas lalu saja.


Tak sengaja juga melihat tulisan di profile face booknya, dan… menarik, pikir saya. Untuk dicerna, untuk diambil pelajaran darinya. Rahasia hati memang hanya Tuhan yang tahu. Saya juga tak tahu bagaimana teman ‘jauh’ saya ini menyimpan rapat rahasia hatinya selama ini, menanggung jerih sendirian untuk memperjuangkan banyak hal, lalu kemudian kembali berlari. Namun, saya ingin belajar dari nya, juga dari siapa saja yang saya temui dan akan saya temui di kemudian hari.

Dalam hidup, saya telah bertemu dengan banyak orang, dengan berbagai karakter, dengan cara berpikir yang beragam. Jika saja boleh memilih, manusiawinya saya ingin bertemu dengan orang yang akan membuat saya bahagia, tertawa terbahak-bahak, dan tak mengenal patah hati dan kecewa, agar saya dapat bergembira bersamanya. Saya juga ingin bertemu dengan orang2 yang bersemangat menghadapi hidup ini. Sehingga saya tak mengenal pesimis dan putus asa. Tapi, tetap saya harus bertemu dengan mereka, orang2 yang bersedih di simpang jalan hidup ini. Menanti hidup agar berujung lebih baik dan Tuhan ‘berbaik hati’ melepaskan semua beban hidup yang sering melelahkan untuk dibawa. Di simpang yang lain, saya juga harus bertemu dengan orang2 yang pesimis, orang-orang yang gagal dan menangisi keadaan. “Hidup itu satu kesatuan yang utuh”, kata seorang teman saya yang lain dalam sebuah e mailnya. Again and again, saya harus bertemu mereka untuk satu kata sederhana ‘belajar’ dari mereka semua, untuk memandang hidup sebagai satu kesatuan yang utuh.

Ya, seperti teman saya ’jauh’ yang saya ceritakan sebelumnya, saya juga demikian adanya. Sering salah terlebih latah dalam mempertahankan apa yang tak akan saya miliki, mencintai orang yang salah, menyayangi yang akan pergi, dan banyak bermimpi padahal hidup yang nyata. ”Ah, kalaulah saya tahu dari dulu bahwa semua hanya akan berujung pada kesia2an, tak akan saya melakukannya,” pikir saya waktu dulu. Tapi kawan, ternyata manis itu baru akan terasa jika pernah mengecap pahit. Dan bahagia itu baru akan kita maknai secara benar, bila kita pernah terluka. Terjatuh akan mengajarkan kita tentang bagaimana berdiri dengan benar. Caranya Tuhan memang unik dan indah kawan.... meski jauh dari apa yang kita harapkan pada awalnya, tapi... akan selalu indah pada akhirnya, saya mulai percaya itu.



”Great thanks to bang Ary for the wise words. Maaaaafff….kalau gak bilang2 mau buat tulisan ini…”

Senin, 29 Juni 2009

UN dan Mutu Pendidikan

Memang ketika berbicara UN (Ujian Nasional) dari tahun ke tahun selalu saja kita dihadapkan pada topik yang usang, yang menjadi perdebatan pun masih tetap sama, perlu tidaknya UN. Dari tahun ke tahun Ujian Nasional selalu menjadi polemic yang tak pernah habis untuk dibicarakan. Jika dilihat-lihat dari berbagai media, hampir tak satupun publikasi yang setuju dengan kebijakan Ujian Nasional saat ini. Hanya saja, pemerintah dalam hal ini yang diwakili oleh Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo, benar-benar keukeh agar UN ini terus berlangsung.

Sekian banyak kontroversi berkenaan dengan UN ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tahun ini juga mendapatkan ‘hujan cacian’ dari berbagai pihak. Namun demikian, pemerintah tidak bergeming sedikitpun untuk mengevaluasi efektivitas pelaksanaan UN. Istilahnya, “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Seolah meledek para pengkritiknya, pemerintah malah menambah mata pelajaran yang harus diujikan plus meningkatkan standar nilai kelulusan yang harus dicapai oleh siswa.

Sebuah pepatah Yunani lama yang berbunyi : “Non schole le sed discimus”, yang apabila diartikan secara bebas bahwa sekolah tujuannya bukan untuk mencari skor atau angka-angka tapi sekolah itu belajar untuk kehidupan bahkan hidup itu sendiri. Sekolah pada masa itu merupakan aktivitas yang menyenangkan bagi siswa tanpa beban mencari skor atau angka-angka dramatis (standar nilai). UN nyatanya telah mengeksploitasi hak-hak anak untuk mengembangkan kreatifitas, talenta, dan kemampuannya sebagai makhluk yang unik antara satu dengan yang lainnya. Anak-anak dipaksa untuk mempelajari sesuatu di luar minat dan kemampuannya.

Cukup banyak kasus UN dilapangan yang seharusnya membuat efek jera bagi pemerintah. Untuk kota Pontianak saja ada dua sekolah swasta untuk SMP yang gagal meluluskan semua siswanya, sedang untuk tingkat Menengah Atas ada 4 sekolah swasta yang siswanya 100 persen tidak lulus. Ironisnya Itu terjadi di kota. Bagaimana dengan sekolah-sekolah pedalaman yang jauh dari akses informasi dan fasilitas yang belum memadai? Akhirnya, kita akan menyaksikan banyak sekolah yang ditinggalkan masyarakat, dan hanya memiliki bebebera belas siswa. Grouping dan mergerpun menjadi satu-satunya solusi jika tidak ingin sekolah yang bersangkutan ditutup.

Namun, melalui berbagai media massa pemerintah melakukan pembelaan diri. Seperti hanya argumen wakil presiden JK dan Abu Rizal Bakri yang sempat terekam dalam sebuah media massa: ”Anak harus dibiasakan kerja keras. Jika diberi tantangan atau dituntut dengan syarat kelulusan yang tinggi dan dinaikkan setiap tahunnya, akan membuat anak belajar”. ”Mutu pendidikan meningkat dari tahun ke tahun, hasil UN 2007/2008 lebih bagus dari tahun sebelumnya, padahal tuntutan angka standar kelulusan lebih tinggi dari tahun sebelumnya”.

Bila kita mau mencermati dengan lebih seksama, argumen yang disampaikan oleh wakil pemerintah tadi sebenarnya tidak dilandasi oleh pengetahuan pedagogis yang memadai. Semestinya argumentasi ini dibarengi dengan pertanyaan lanjutan ”bagaimana anak-anak didik belajar?”. dalam hal ini, yang terjadi sebenarnya bukanlah kegiatan belajar, tetapi kegiatan memeras otak melalui drill soal belaka yang nantinya bakal melahirkan generasi ‘pembeo’. Bagaimana mungkin angka dan jumlah kelulusan menjadi indikator mutu sebuah pendidikan? Jika hal ini yang dimaksud dengan mutu pendidikan Indonesia yang makin baik menurut versi pemerintah, maka dapat dikatakan pendidikan kita betul-betul sedang mengalami kemunduran. Mutu pendidikan tidak bisa hanya diukur dari kemahiran siswa dalam menjawab soal-soal UN melalui pendekatan drill ’menghafal’ soal-soal UN yang sifatnya mengingat sementara, bukan dari pembelajaran yang bermakna. Itu semua hanya generalisasi mutu pendidikan yang dibuat pemerintah. Sementara untuk menentukan kualitas pendidikan hanya dapat dilihat di masa yang akan datang, karena pendidikan itu sendiri merupakan investasi jangka panjang.

Permasalahan lain yang muncul bila UN dianggap sebagai hakim penentu kelulusan adalah diorientasi belajar siswa dan mengajar guru. Bayangan tidak lulus adalah hal yang paling mengerikan, apalagi bagi siswa Sekolah Dasar yang ’jalannya’ masih jauh. Walhasil, banyak siswa yang mengikuti bimbingan UN, kursus mata pelajaran, hingga try out. Bagi yang tidak memiliki uang lebih, cukup mengumpulkan soal-soal UN bekas, kemudian belajar dengan sekeras-kerasnya di rumah. Ironisnya, guru dan sekolah juga sering terjebak pada hal yang sama. Pembelajaran yang bermakna beralih menjadi teaching for test. Anak-anak dipaksa untuk menghafal soal dan jawabannya, yang nantinya hanya akan dilupakan seiring berlalunya UN. Jika boleh dikatakan, sekolah dan lembaga bimbingan belajar berubah menjadi lembaga ‘pembonsaian’ karakter anak didik.


Sejatinya, pendidikan jauh melampaui aspek kognitif (pengetahuan), yaitu aspek attitude (sikap) dan skill (praktik). Jika di dalam UN yang dinilai hanya aspek kognitif saja dengan sistem katrol ’standarisasi’ nilai, maka pendidikan nyatanya kehilangan jati dirinya. Nilai mungkin menjadi salah satu aspek penting yang ikut menentukan baik buruknya pendidikan kita. Hanya saja hendaknya hal itu bukanlah menjadi satu-satunya aspek penilaian kelulusan siswa. Karena semestinya pendidikan merupakan tempat penanaman nilai-nilai yang akan diejawantahkan dalam kehidupan siswa. Tapi, saat ini, yang lahir dari rahim pendidikan justru output yang prematur dan tak jelas orientasinya.

Standarisasi sendiri merupakan suatu bentuk pemahaman yang beranggapan segala sesuatu dapat diukur. Standar nasional pendidikan idealnya diperlukan untuk mengukur kualitas pendidikan secara nasional, pemetaan permasalahan pendidikan secara nasional, sehingga dapat dijadikan dasar dalam menyusun rencana strategis penyelenggaraan pendidikan selanjutnya. Namun saat ini, bila kita lihat bersama kondisi pendidikan kita, banyak aspek-aspek yang belum standar, sehingga standarisasi belum dapat dilaksanakan. Kondisi bangunan sekolah yang berbeda, sarana prasarana yang berbeda, fasilitas yang berbeda, akses informasi yang berbeda, kualitas guru yang berbeda tentu menjadi penghalang untuk serta merta membuat standarisasi melalui UN.

Barometer baik buruknya kualitas pendididikan dapat dilihat langsung oleh pihak yang terjun langsung di dalamnya. Dalam hal ini guru merupakan sosok yang paling memahami kondisi dan capaian-capaian yang diraih oleh semua peserta didik. Gurulah yang berhak melakukan penilaian secara objektif dari setiap capaian siswa dengan ragam metode penilaian. Penilaian seperti ini merupakan penilaian berbasis kelas dengan melihat tiga aspek pembelajaran yaitu kognitif, attitude dan skill. Hasil penilaian gurulah yang akan menentukan lulus tidak lulusnya siswa.

Terkait UN sebagai alat penentu kelulusan, sistem penilaian porto folio juga layak untuk dikaji dan dipertimbangkan sebagai alat penentu kelulusan siswa. Penilaian ini lebih objektif dalam menggambarkan diri peserta didik sebagai siswa dengan kapasitas pribadi yang berbeda-beda dari pada UN. Hal ini tentunya akan memberdayakan guru secara optimal karena guru dituntut untuk bekerja keras agar dapat memberikan penilaian secara objektif. Sebuah logika yang kurang logis, bila selama ini pemerintah ingin memberdayakan guru tapi justru yangdilakukan adalah usaha-usaha pengkerdilan potensi dan hak guru sebagai pendidik.

Dari uraian di atas, efektifitas UN semestinya perlu dievaluasi ulang dan dikaji secara mendalam. Mengingat saat ini banyak permasalahan UN yang terjadi. Mulai dari cacatnya landasan hukum UN hingga dampak penyelenggaraannya di lapangan. Sebagaimana malpraktik kesalahan diagnosis sebuah penyakit yang dilakukan oleh seorang dokter dapat mengakibatkan kematian pasien, kesalahan berfikir dalam menggagas pendidikan nasional juga akan membawa petaka bagi SDM masa depan bangsa ini.


Jumat, 26 Juni 2009

Happiness

KEBAHAGIAAN… You call it Happiness in English…
But actually, have you ever gotten the real happiness? I don’t know. You’ve known d answer. But, don’t ask me about that. I’m trying, still trying to translate that word correctly….in my own way… What about you?

Lelaki itu pergi menjauh… dengan terbata-bata ia kembali mendorong gerobak sampahnya yang terlihat penuh dengan sampah, hasil jerih payahnya mengumpulkan sampah dari satu bak sampah ke bak sampah lainnya. Mungkin ia melakukan ini setiap hari, dari pagi hingga siang seperti saat ini.

Siang ini panas matahari begitu terik. Ku lihat keringat laki-laki itu bercucuran, nampak membasahi baju tipis lusuh yang aku pun tak tahu lagi warnanya, mungkin putih, tapi mungkin juga abu-abu, kumal. Ku yakin, laki-laki yang kini berada di hadapan ku bukanlah laki-laki biasa, yang menghabiskan waktunya dengan santai. Ku lihat postur tubuhnya yang ringkih, hitam khas pekerja keras, penuh dengan keriput di sana sini. Terbayang olehku bagaimana ia berjuang setiap hari, mengais-ngais sampah dari satu tong sampah ke tong sampah lain di jalanan untuk beberapa ribu rupiah, menghidupi keluarganya. Jika tidak, bagaimana mungkin laki-laki yang layaknya disebut kakek itu masih berada di jalanan nan panas seperti ini, bukan bersama keluarga, istri, anak-cucu, sedang bercanda atau makan siang dengan mereka hari ini. Itulah mungkin alasan kenapa aku berada di sini, di sebuah sudut jalan untuk menemuinya setelah sempat putus asa mencarinya, mengitari jalan tempat tadi aku berpapasan dengannya.

Pertemuan yang tak di sengaja memang. Saat aku pulang dari pasar, aku melihatnya dari jauh. Aku takjub. Ku lihat ia dengan sekuat tenaga mendorong gerobak sampahnya yang berat itu menyeberangi jalan yang ku lewati. Entah kenapa, ada yang terasa perih di hati ini. Pemandangan seperti ini memang bukan untuk pertama kali ku saksikan, tapi betapa aku tak berani menuruti kata hatiku. Aku lebih sering membiarkan mereka berlalu. Begitu pun kali ini. Aku membiarkan saja laki-laki pemulung itu berlalu sedang aku kembali melanjutkan perjalanan untuk pulang ke rumah. Tapi tak tahu kenapa, ada yang teramat sakit di hati ini, dan aku menangis tiba-tiba saja, aku pun tak tahu mengapa aku menangis. Ku putar kembali motorku. Kembali menyusuri jalan yang sama, jalan di mana aku bertemu dengan kakek pemulung tadi, berharap ia masih di sana.


Lelah aku menyusuri jalan itu, tapi aku tak menemukannya lagi. Aku pun terpaku di pinggir jalan, putus asa. Ku pikir sebaiknya aku pulang saja. Tapi… hei… tunggu dulu, aku kembali menemukan sosok itu sedang berhenti di pinggir jalan seberang. Dia berhenti sebentar mengelap keringatnya lalu kembali mendorong gerobak sampahnya. “Alhamdulillah…”,lirihku. Aku kembali mengejarnya, walau jalan yang kulewati lumayan berputar untuk sampai ke tempat ia berada. Ku lihat ia terkejut saat aku dan kendaraanku parkir di depannya. Aku menyapanya. Aku sempat bingung bagaimana harus menyapanya. Ku lihat ia begitu tergesa-gesa, seperti ingin mengatakan padaku “kenapa berhenti di sini” atau “permisi saya mau lewat”. Tanpa basa basi aku menyodorkan beberapa lembar uang kertas yang sedari tadi ada dalam genggamanku. “Maaf pak, ini buat bapak, diterima ya…”, kataku lirih, sambil takut-takut kalau ia tersinggung dan menolaknya. Aku salah. Ku lihat ia sumringah, tersenyum, memamerkan barisan giginya yang kelihatan hitam sambil menerima uang yang tak seberapa nilainya itu. “Terima kasih mbak…”, balasnya. Tanpa banyak bicara ia pergi meninggalkan aku yang terpaku di pinggir jalan sendirian. Ia menjauh, terbata mendorong gerobaknya. Tapi entahlah, bagaimana harus ku definisikan perasaan ini. Yang ku tahu bahwa aku teramat senang, teramat bahagia hingga aku lupa menanyakan nama bapak pemulung yang baru ku temui itu, juga tak sadar bahwa ada bapak pemilik ruko tempat kami berdiri yang sedari tadi memperhatikan kami.

Ini hanya sedikit kisah “kecil” di perjalanan. Tentang bagaimana kita menterjemahkan kebahagian menurut versi kita masing-masing. Mungkin setiap orang punya defenisi yang berbeda tentang kebahagiaan. Sebagian mendefinisikan kebahagiaan sebagai hidup yang mengalir tanpa hambatan, posisi yang bagus di tempat kerja, financial yang memadai, rumah dan berikut property yang bisa diandalkan, suami/istri yang mencintai, anak-anak yang lucu dan patuh, etc. Mungkin, itu mungkin kebahagiaan. I’m sure everybody loves those.. Tapi entahlah, saya hanya merasa kadang kita terjebak dengan kebahagiaan yang sifatnya materialis. Kita terbiasa mendefinisikan kita bahagia karena kita tak lagi berpusing2 memikirkan bagaimana mengisi perut hari ini… sementara banyak orang disekitar kita yang “tak bahagia” karena urusan perut masih menjadi menu harian yang harus dipikirkan, dan entah kapan berakhir atau mungkin tak pernah berakhir.


Tulisan ini hanya sebuah intermezo dalam perjalanan, tentang bagaimana kita memaknai kebahagiaan kita masing2. Saya yakin setiap orang berhak membuat definisi bahagia itu... tapi yakinlah dengan sedikit rezeki (kebahagiaan) yang kita bagikan untuk orang lain, maka hati kita akan lebih bahagia....

”Di suatu siang yang gerah”

written from one's experience

Kamis, 18 Juni 2009

KESULITAN? ATASI SEKARANG JUGA !


Di sebuah ladang terdapat sebongkah batu yang amat besar. Dan seorang petani
tua selama bertahun-tahun membajak tanah yang ada di sekeliling batu besar
itu. Sudah cukup banyak mata bajak yang pecah gara-gara membajak di sekitar
batu itu. Padi-padi yang ditanam di sekitar batu itu pun tumbuh tidak baik.

Hari ini mata bajaknya pecah kagi. Ia lalu memikirkan bahwa semua kesulitan
yang dialaminya disebabkan oleh batu besar ini. Lalu ia memutuskan untuk
melakukan sesuatu pada batu itu.

Lalu ia mengambil linggis dan mulai menggali lubang di bawah batu. Betapa
terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa batu itu hanya setebal sekitar 6
inchi saja. Sebenarnya batu itu bisa dengan mudah dipecahkan dengan palu
biasa. Kemudian ia menghancurkan batu itu sambil tersenyum gembira.
Ia teringat bahwa semua kesulitan yang di alaminya selama bertahun-tahun
oleh batu itu ternyata bisa diatasinya dengan mudah dan cepat.

Renungan:
Pepatah mengatakan, semakin jauh kita meletakkan benda dari cahaya,
semakin besar bayangannya di dinding. Kita sering ditakuti oleh bayangan
seolah permasalahan yang kita hadapi tampak besar, padahal ketika
kita mau melakukan sesuatu, persoalan itu mudah sekali diatasi.
Maka, atasi persoalan anda sekarang.

takeb from Brian Cavanaugh, T.O.R., The Sower's Seeds

Rabu, 17 Juni 2009

DOA SANG JUARA


Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil
balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab, ini adalah babak
final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil

mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab, memang begitulah
peraturannya.

Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk
dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark lah
yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu
untuk berpacu melawan mobil lainnya.

Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana
dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan
mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu
semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap

anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka
kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4
"pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur
terpisah diantaranya.

Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba
dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya
terpejam, dengan tangan tang bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit
kemudian, ia berkata, "Ya, aku siap!".

Dor. Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai
mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat.

Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya
masing-masing. "Ayo..ayo... cepat..cepat, maju..maju", begitu teriak
mereka. Ahha...sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun
telah terlambai. Dan, Mark lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu
juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati. "Terima
kasih."

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum
piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya. "Hai jagoan, kamu pasti
tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?". Mark terdiam.
"Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark.

Ia lalu melanjutkan, "Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan
untuk menolongmu mengalahkan orang lain. "Aku, hanya bermohon pada
Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah." Semua hadirin terdiam
mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan
yang memenuhi ruangan.


***

Teman, anak-anak, tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita
semua. Mark, tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap
ujian. Mark, tak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap
hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan
semua harapannya. Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang
lainnya. Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat
menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau
menyadari kekurangan dengan rasa bangga.

Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan utuk berdoa pada Tuhan
untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita
meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik,
menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa pada
Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan
mata. Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya,
tuntunan-Nya, dan panduan-Nya?

Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering
lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah
semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan
kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah
menyerah. Sesungguhnya, Tuhan sedang menguji setiap hamba-Nya yang
shaleh.

Jadi, teman, berdoalah agar kita selalu tegar dalam setiap ujian.
Berdoalah agar kita selalu dalam lindungan-Nya saat menghadapi itu
semua. AminJustify Full