RSS

Minggu, 11 Juli 2010

Monolog Tahun ke-25

Berapa umurku kini? Ya, benar.... kini aku hampir 25 tahun.
Coba lihat hidupku. Aku belum jadi apa-apa. Tak ada yang bisa kubanggakan. Belum cukup 'besar' untuk menjadi manusia. Belum layak disebut bermakna.

Lihat aku. Secara duniawi aku tak punya apa-apa. Rumah tak punya. Kuliah belum sarjana. Pekerjaan tak jelas. Fasilitas nebeng semua. Mau bagaimana hidupku tahun depan? Mau kerja apa nanti? Belum bisa kujawab semua. Spiritualitas? Jauh minus. Dewasa? Ehmm....jauh, underground. Bijaksana? Low. Stress? High!

So, beginilah kawan diriku. Kutilik note-note yang sempat kubuat tahun lalu. Terpampang jelas "AKU di 2010". Apa kini? Itu semua hanya carikan kertas, sedang aku masih sampai di sini. Terkatung-katung mencari kepastian nasibku. So? sudah layakkah aku disebut manusia?

Begitu banyak yang ingin kutemukan suatu hari, tapi belum kutemui hari ini, kawan. Katakanlah, belum jadi bagian dari takdir hari ini.

Tapi esok? Kemungkinan pasti ada. Lagipula, siapa yang tahu apa yang terbaik bagiku?
Siapa yang tahu waktu tertepat untukku? Hmm.... Entah sobat, Tuhan mungkin?

Kau benar. Aku sudah 25 tahun. Tapi itu tak begitu penting kurasa.
Setidaknya aku masih hidup hingga kini. Masih sempurna dari ujung kaki hingga rambut.
Masih bisa bertemu dengan banyak orang. Masih bisa tertawa. Masih bisa kuliah. Masih bisa mengeluh disini. Masih bisa...masih bisa, kawan.

Aku mungkin memang belum cukup besar dan bermakna.
Tapi, sesungguhnya, apakah arti besar dan bermakna itu sendiri? Katakan, apa standarnya?
Saat kutanya itu pada diriku, aku makin binggung. Lalu aku teringat kata seorang kawan baik, bahwa segala sesuatu dimulai dari pikiran. Yakkk...dan mungkin ia benar.

Jumat, 12 Maret 2010

Teman Bicara

Masih seperti bulan lalu
Kita masih bicara
Tentang apa yang kita lalui hari ini
Lalu tentang tulisan
Lalu tentang takdir
Lalu tentang kehidupan

Kau bertanya
Aku menjawab
Dan sebaliknya

Tak ada rentang
Semua terbuka
Apa adanya

Kita bagai dua sisi yang baru saja dipertemukan
Saling menanti di sudut kota
tiap senja menenggelamkan matahari

Menunggu hingga malam
Ketika suara binatang-binatang mengalun tenang
Hanya untuk berkisah soal masa depan
Juga mimpi-mimpi yang kita rajut tiap hari

Kita, adalah teman bicara

Ramah

Beberapa waktu lalu sempat terkaget-kaget mendapati diri saya “dinobatkan” sebagai senior teramah dalam momentum acara puncak HUT Asrama yang saya tempati. Sebelumnya memang ada poling asrama putri dan putra untuk beberapa nominasi yang telah dibuat. Namun, malam itu sungguh membuat sedikit terkejut. Senang iya, namun lebih dari itu membuat saya introspeksi diri, akan eksistensi diri saya di tengah-tengah orang yang saya cintai. Benarkah saya selama ini sudah sedemikan ramah? Ehm… lebih tepatnya, benarkah saya telah membuat orang-orang di sekitar saya merasa aman dari kata-kata yang keluar dan tindakan saya? Saya mencoba mengaca diri kembali. Bagaimanapun selama ini saya masih merasa sangat egois. Ketika sedang tak enak hati, seringkali orang-orang di sekeliling saya mendapati saya cemberut, tidak menyapa, tidak berwajah ceria atau paling tidak diam, seakan masalah saya paling besar, seakan saya paling stress, seakan saya paling layak tidak menyapa karena saya senior. Begitukah? Ehm….Sungguh saya malu pada diri sendiri saat mendapatkan award senior teramah itu. Lalu bagaimana di luar sana? Saya juga merasa sering sungkan menyapa duluan orang yang saya temui. Malah terasa lidah sangat berat menyapa orang-orang yang tidak saya kenal dalam antrian, masjid, bus kota, rumah makan, atau tempat umum lainnya.


Masya Allah… Saya masih juga sombong ya? Makanya sempat malu dan grogi sendiri saat suatu hari harus memberikan meteri soal senyum, salam dan sapa dalam suatu moment siaran. Duh…diri ini saja masih sombong pada sesama…Padahal apa susahnya menarik bibir 2 cm ke kiri dan ke kanan demi membentuk sebuah senyum tulus. Apa salahnya memberi sepotong kata “Assalamuailaikum” pada orang-orang yang saya temui, juga tak susah menyapa dengan sedikit berbasa-basi pada orang yang baru ditemui. Apa susahnya.?Bukankah setiap orang senang disapa, diberikan sepotong senyuman, dan didoakan dengan assalamualaikum?”…


Sungguh harus tertegun membaca bukunya Dakwah Fardhiyah Hassan Al-Banna. Saking ingin berkenalan dengan seseorang dalam bus kota, belio rela ‘berpura-pura’ menginjak kaki orang yang ingin dikenal dengan maksud basa-basi untuk memulai pembicaraan lebih lanjut.

Saya jadi teringat pada tulisan seorang teman. Belio berkata, apa sih susahnya me-like status seseorang di face book? (thanks dini…) Saya sepakat! Bukankah memberikan tanda like itu, hanya persoalan menekan tombol klik pada mouse? Dan rasanya itu sangat tidak sulit. Bahkan memberikan sedikit kata-kata komentar pun tidak sulit, cukup memberikan sepatah dua patah kata saja, dan sahabat kita akan senang…


So, alangkah menyenangkan bila kita bisa ramah pada semua orang. Semua orang suka pada orang ramah dan membuka diri. Secantik dan seganteng apapun wajah seseorang, kalau terlihat sangar dan cemberut pasti tidak sedap dipandang. Kuncinya, harus berani memulai duluan, dan jangan takut bila dicuekin. Bukankah telah dikatakan, bahwa rezeki seseorang akan panjang dengan silaturrahim. Siapa tahu, saat kita menyapa seseorang yang baru kita kenal, dan saat itu ternyata dia butuh seseorang untuk dipekerjakan, eh…. kita malah dikasih kerjaan, ya gak? He he he…:] Wallahualam bis shawab..

Selasa, 02 Maret 2010

Menyesal bertemu orang baik


Pernahkah menyesal bertemu seseorang? Mungkin pernah. Tapi pasti dia bukan orang baik, atau ia pernah membuatmu sakit hati. Tapi pernahkah kau menyesal bertemu dengan orang yang sangat baik? Aneh, tapi aku (pernah) menyesalinya.

Kenapa? Pasti semua orang akan bertanya demikian? Bukankah bertemu dgn orang baik akan membawa kebaikan juga bagimu? atau bukankah orang baik tidak akan menyakiti hatimu?
Aneh...

Ya, demikianlah adanya. Aku pernah mengucapkan "menyesal" bertemu orang baik. Kenapa? alasannya satu, karena ia terlalu baik. Kebaikannya itu membuatku sangat "tidak nyaman". Malah aku sempat berpikir "seandainya dia tidak terlalu baik..., maka...."

Tetapi aku baru saja tahu, bahwa tenyata ada saat2 dimana kebaikan seseorang tidak sinergi dengan keadaan yang ada, yang mengharuskan untuk berpikir 'tidak logis'. Keadaan itu, di mana antara realita dan keinginan tidak dapat bertemu pada satu titik yang sama.
Ya....mungkin di saat itu kau akan mengatakan menyesal bertemu orang yang sangat baik...
Karena kau tak sebaik dirinya....


buat seorang teman yang selalu sangat baik, maaf buat semuanya
...

Selasa, 23 Februari 2010

Hanya Prolog, Tak Sempat Lebih Dari Itu


Aku benar-benar lupa bagaimana menulis. Beberapa waktu belakangan, aku merasa tak punya waktu untuk menulis, namun lebih tepatnya tak memiliki rasa yang memaksa untuk dikeluarkan dalam kalimat-kalimat. Takut, gembira, kalut, lucu, debar, sakit atau apapun itu telah menyatu menjadi satu, mengawang-awang di angkasa lalu terbang entah kemana. Pergi....

Sudah kuduga, aku memang tak pandai menterjemahkan rasa. Syukurlah aku masih bisa merasakan sesuatu atas apa yang terjadi padaku. Jika tidak, aku pasti sudah dikatakan mati rasa.. Baiknya kukatakan saat ini, bahwa aku ingin menghilangkan rasa itu secara praktis dengan menganggap segalanya baik-baik saja. Jika sudah begitu, biasanya aku akan bertanya, apakah aku benar baik-baik saja? Tapi lagi, bukan untuk dijawab, tapi belajar untuk menyelesaikannya. Kesiapan hidup kita, dipandang dengan sejauh mana kita mampu menyelesaikan masalah demi masalah yang dihadirkan.

Aku mungkin tidak pernah secara yakin menyatakan kesiapan untuk hidup. Namun, saat telah siap bahkan sukses menyelesaikan masalah demi masalah, kau hidup. Itu buatku. Hidup sering terasa hanya untuk menyelesaikan masalah demi masalah, lalu belajar mengambil hikmah. Meskipun, kadang aku merasa tak sempat mengungkapkan apa yang benar-benar kurasakan secara jujur. Mungkin pernah, tapi baru prolog, aku masih tak sempat untuk lebih dari itu.


*Di suatu jeda siang, menyempatkan diri berada di depan monitor.

Minggu, 07 Februari 2010

Aku Sudah Lupa


Aku sudah lupa bagaimana membuat puisi

Apakah kau tahu caranya?

Ajarilah aku…

Tunjukkan padaku bagaimana memulainya

Karena ku sudah lupa bagaimana membuat puisi


Aku sudah lupa pada puisi

Sejak bertahun-tahun lalu

Tepatnya saat musim kemarau datang

Ketika aku ngantuk dan terlalu lelah

tuk mengingat serangkaian huruf –huruf


Aku benar-benar lupa akan puisi

Yang kuingat,

Terakhir aku membuangnya ketempat sampah

Dalam sobekan-sobekan tak utuh

Setelah puas menertawainya


Kini, ia menumpuk di depan mata

Helai demi helai dalam koper tua

Kian hari tulisannya kian kabur saja

Tapi aku telah lupa bagaimana membacanya

Apalagi membuatnya.

Mungkin benar

Bahwa aku benar-benar telah lupa pada puisi.

Jumat, 05 Februari 2010

Mencari dan Menemukan

Hidup kadang membawa kita pada satu tempat yang tak kita ketahui. Setiap saat kita melangkah dan terus melangkah, meski kadang sebenarnya kita tak tahu hendak menuju kemanakah kita dan apakah di sana benar-benar ada suatu tempat pemberhentiaan terakhir kita.

Manusia memang tidak pernah puas. Saat kita berjalan dan menemukan sesuatu, tidak lantas membuat kita berhenti. Malah kita terus berjalan mencari sesuatu yang lain, begitu seterusnya hingga ajal datang menghentikan ritme perjalanan kita

Hidup dan perjalanan. Apa bedanya? Dalam hidup kita bertemu dengan banyak orang. Ada yang menawarkan kebaikan, bantuan, ketulusan, juga cinta. Tapi seperti perjalanan, pada suatu saat kita harus meninggalkan mereka atau mereka yang pergi meniggalkan kita demi melanjutkan sebuah perjalanan mencari kebahagiaan di ujung jalan sana. Lalu, di tengah perjalanan, kita kembali bertemu dengan seseorang atau banyak orang. Kita berbicara, bercerita, saling membantu, namun seperti sedia kala, mereka harus kita tinggalkan.

Begitulah hidup. Serupa perjalanan. Kita mecari banyak hal, dan terus mencari seolah belum bertemu dengan yang benar-benar kita inginkan hingga bisa membuat kita bahagia. Kita berkata pada diri kita, saya akan merasa bahagia jika saya lulus kuliah. Setelah lulus kuliah, kita akan mengatakan kembali, saya akan bahagia bila mendapatkan pekerjaan yang layak. Setelah bekerja kita kembali berkata pada diri sendiri, saya akan bahagia bila saya mendapatkan posisi penting di kantor, dan begitu seterusnya hingga kita tua dan ajal menjemput kita. Padahal kadang kita tak tahu apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup. Apakah yang benar-benar ingin kita temukan itu adalah kebahagiaan? Atau dengan mencari dan terus mencari itu memiliki kebahagiaan tersendiri?

Ya, mungkin benar, bahwa “LIFE IS A JOURNEY NOT A DESTINATION”, hidup adalah rangkaian perjalanan dan bukan tujuan. Kita akan bahagia justru dengan mencari dan terus mencari, walau kadang kita sendiri tak tahu apa yang benar-benar ingin kita temukan. Justru, dengan sifat tidak pernah puas itu, kita akan kembali mencari. Dan mencari akan membuat kita dinamis, mobile dan produktif. Apapun yang kita temukan nanti di perjalanan hidup kita, pastilah itu semua sudah tertulis dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Nasib). Tapi sekali lagi, kita tak akan tahu tahu itu nasib yang tertulis dalam takdir atau bukan bila kita belum berusaha.

Subhanallah, maha suci Tuhan yang menciptakan manusia dengan rasa tidak pernah puas dan betapa beruntungnya orang-orang yang tidak pernah puas itu. Walau pada hakikatya akhir dari pencarian kita adalah bertemu dengan-Nya. Dan itu adalah sebenar-benarnya tujuan akhir kita.
Selamat mencari dan menemukan, kawan….

Sebuah perenungan di akhir January 2010.

Senin, 01 Februari 2010

Karena Ia Pagi


Semua menepi dalam tenang
Saat pagi itu singgah, lalu pergi diam-diam
Pagi itu,
Apa bedanya seperti kehidupan dan kematian
Kita tak pernah tahu kapan ia datang

Pagi, semuanya begitu tergesa, ganjil dan rumit
Ia tak pernah berkisah tentang apa-apa
Ya, mungkin karena ia hanya pagi


*Akhir January 2010

Kamis, 21 Januari 2010

Mengapa Aku Menulis

Waktu selalu menciptakan jarak dan objektifitas tentang apa yang sudah kulewati dalam hidup. Setelah menulis banyak cerita di buku harian dan blog ini, aku baru teringat bahwa aku punya hidup. Dan aku telah melakoni banyak adegan hidup ini.

Sejak dulu, aku terbiasa mencatat setiap kejadian mengesankan, membahagiakan, mengharukan, dan memedihkan dalam hidup ini.. Sekarang, saat aku kesal, benci, marah, tidak puas, pesimis, negatif, aku akan mengambil buku untuk menuliskannya.Aku mengakui, bahwa semua itu hanya perasaan, dan perasaan bisa berubah. Aku juga tahu itu adalah energi yang ingin menemukan tempatnya.

Aku mulai menulis dari kebahagian dan kepedihan setiap hari, yang pada akhirnya akan menghadirkan kecintaan pada hidupku yang kecil dan sering kehilangan arah ini. MePost Optionsngapa aku menulis? Ya, karena aku lebih memilih menutup mulut dari pada mengumbar egoku untuk bercerita pada mereka. Aku menulis, untuk menyembunyikan ego sejatiku, bahwa aku ingin keabadian, aku ingin orang-orang yang kucintai berada bersamaku selamanya. Aku benci kesementaraan kita, aku benci berlalunya waktu. Di tepi kebahagiaan yang kumiliki kini, ada duka yang merayap, bahwa semua ini akan berlalu.

Aku menulis karena aku bersyukur memiliki pikiran, perasaan, kedua tangan, lengkap dengan jari jemarinya. Selainnya, aku adalah orang yang mudah terkagum-kagum pada Alam ciptaan-Nya. Mungkin, banyak yang tak tahu rasa indahnya berada di bawah senja yang tiba-tiba datang, perak dilangit-langit, gemuruhnya hujan, dan harumnya rumput di pagi hari.

Aku menulis karena aku sendirian dan berjalan di dunia sendirian. Hidupku adalah milikku, dan tak seorang pun tahu apa yang telah aku lalui, dan lebih mengherankan lagi, kadang aku pun tak tahu. Aku hanya menulis, karena kadang aku hilang kekuatan untuk bertahan. Aku menulis karena aku gila pada ajaibnya kehidupan ini, dan kurasa aku harus melakukan sesuatu selain membuangnya ke tempat sampah.

Aku menulis karena ada cerita-cerita yang dilupakan orang untuk diceritakan. Karena aku seorang perempuan yang kerap dipandang lemah oleh mereka yang bernama laki-laki. Aku menulis karena aku menyukai kata-kata. Teramat menyukai puisi, juga harumnya kertas.

Aku menulis karena aku mencoba menjadi lebih hidup, menemukan jarak di ruang kecilku sendiri, mendorongnya keluar dan memberinya warna dan bentuk. Aku menulis karena aku terlalu miskin untuk membuat dunia khayalku menjadi nyata, dan menulis mungkin adalah satu-satunya yang kumiliki.

Aku menulis karena aku kadang tak mengerti apa yang benar-benar kurasakan.
Aku menulis karena rasa bahagia yang Tuhan berikan. Aku menulis karena rasa pedih yang tak bisa kusampaikan dan bagaimana membuat rasa itu diterima; bagaimana membuat diriku kuat dan kembali pulang, menemukan jalan terbaikku. Aku menulis karena aku punya hati dan itu mungkin satu-satunya rumah sejati yang pernah benar-benar kumuliki.

Pada akhirnya, aku menulis karena aku ingin merekam semuanya selagi aku masih muda dan masih bisa mengingat semuanya dengan benar. Dan aku ingin aku punya sesuatu yang bisa kuceritakan saat aku tua nanti.

Minggu, 17 Januari 2010

Esai Kesendirian


Menulis lagi.
Dalam lembar-lembar kosong,
hati yang tak pasti,
pikiran yang kusut
dan ketiadaan rasa.

Beberapa hari ini, aku memustuskan aku perlu sendirian. Meski sebenarnya ketakutan terbesar dlm hidupku adalah kesendirian. Tapi, ketakutan terbesar itulah yang harus kutaklukkan demi sesuatu yang aku sebut impian hidup. Makanya, saat ini aku memberanikan diri untuk berhadapan dengan kesendirian, walau pada akhirnya, aku akan merasa sangat kesepian.

Kesepian. Apalagi makhluk yang satu ini. Bicara tentangnya sama saja bicara tentang kengerian dan kepekatan malam. Tapi, untuk saat ini, ia juga adalah teman. Padanya, aku bertanya apa yang akan kulakukan dan apa yang harus kuyakini. Dengannya, semua ide cerita hidup dan mengalir seperti air yang menemukan muaranya.

Aku mencintai kesendirian itu. Aku mencari-carinya bila ia pergi jauh. Aku nyaman menghabiskan waktu sendirian. Kemana saja. Ke kampus, ke mall mencari buku-buku favorit, ke tepian sungai, kemana saja.

Aku juga sadar, bahwa hidup tak harus sendirian. Tapi, paling tidak, beberapa hari ini, izinkan aku sendrian. Aku ingin berpikir, ingin merenung, ingin larut sejenak dalam imajinasiku sendiri, dan ingin terbang bersama kesedihan. Tak perlu semua orang tahu bahwa kali ini aku sedang rapuh. Hingga tak perlu membenani mereka dengan membuat status betapa sedih dan melankolisnya aku saat ini di status pertemanan atau bercerita panjang lebar sambil terisak-isak. Tak perlu!. Lukaku, milikku sendiri. Biarlah yang tertulis di sana kata-kata yang akan membuat inspirasi buat orang-orang di sekelilingku, atau paling tidak kata-kata yang mengajak diri ini untuk bersemangat. Walau kadang kita harus mengatakan apa yang sebenarnya tidak kita rasakan, atau sebaliknya tidak mengatakan apa yang kita rasakan.
Entahlah...

Minggu, 10 Januari 2010

Hidup, Akan Kemanakah Kita Hari ini?


Kadang, ku ingin hidup berhenti di suatu detik
Kadang, kuingin hidup menungguku
Apakah di suatu persimpangan yang aku tersesat
Ataukah di sebuah kereta yang aku terlambat
Ya, aku ingin hidup menoleh padaku

Lagi, kemarin aku bertanya pada hidup
“hidup, akan kemanakah kita hari ini?”
Tapi lagi, hanya diam tanpa jawab
Ia berlalu, sambil menarik tanganku,
membawaku pergi ke suatu tujuan yang tak kuketahui
Hingga aku lelah dan akhirnya terlelap di suatu gelap

Hari ini, kembali kuterbangun
Berharap, ia akan bertanya padaku
“Jiwa, kau mau kemana?”
Tapi tidak, dia hanya berkata “Ikutilah aku”
Dan begitulah seterusnya
Entah sampai kapan….



Lagi, Kuminta Ia Menguatkan.


Begitu banyak hal tak terduga yang terjadi dan akan terjadi di kemudian hari. Kadang membuat bahagia, kadang membuat sedih, kadang terkejut dan kadang datar2 saja. Tapi, ada satu hal yang selalu kuminta pada-Nya, kuatkan aku menghadapi semuanya dengan hati yang lapang. Aku ingin ikhlas, ingin bisa tersenyum menghadapi semuanya, walaupun hati sebenarnya lebih ingin menangis, walaupun pikiran memaksa untukku menyerah, walaupun aku kehabisan kata2 untuk menegarkan diri.

Aku bukan anak kecil. Yang apapun keinginannya harus selalu dikabulkan. Aku bukan anak kecil yang harus menyikapi ketiadaan dengan menangis sejadi-jadinya. Aku manusia dewasa. Meskipun kadang juga butuh setetes dua tetes air mata. Dan kurasa, semua manusia membutuhkan air mata, apakah kecil atau dewasa. Bukan semata2 ingin meneggelamkan diri dengan melankolisme, hanya sebuah ungkapan perasaan atas ketidakberdayaan dan kelemahan sebagai manusia untuk kembali menyerahkan urusan pada-Nya.

Tak Menentu

Aku paling tidak senang berhadapan dengan hati yang melankolis seperti ini. Aku benci saat aku kehilangan tenaga untuk bisa berpikir lebih logis dan bijaksana. Aku benci diriku yang patah semangat, aku benci aku yang mudah menyerah oleh keadaan, aku benci hatiku yang rapuh. Seperti saat ini. Saat semuanya berada di luar kendaliku.

Ada apa denganku pagi ini? Bangun dengan perasaan yang sulit kuungkapkan, tak menentu. Padahal aku telah menyusun hati dengan sebaik2nya beberapa waktu lalu. Dan hari ini aku harus bertemu dengan banyak orang. Kalau moodku sedang hilang begini, mungkinkah semuanya akan baik2 saja? huh! I don’t like the way I’m this morning.

Rabu, 06 Januari 2010

20 Tahun-an Identik Dengan Menikahkah?

Sewaktu masih di semester2 awal kuliah dan masih berumur belasan tahun dulu, saya berpikir jika usia seseorang sudah memasuki usia 20 tahun-an, itu adalah umur yang sangat dewasa, jika tidak boleh dibilang tua. Tapi, saat saya menjadi bagian dari orang2 yang berumur 20 tahun-an, kok saya sendiri mikirnya berubah. Saya merasa, umur segitu belum layak dibilang “tua” walaupun katanya usia seorang perempuan yang baik untuk menikah itu ya di bawah 25-an. Lho…kok jadi ngomongin nikah ya? He he…
Iya, bukan apa2. Karena saat umur sudah akan menginjak 25 ini, semua orang pada sibuk “nyuruh nikah”.Gak temen2 kampus, gak temen2 seasrama, gak murobbi, semua pada ngomongin nikah. Materi2 tentang pernikahan dan kerumah tanggaan juga gak ketinggalan. Apakah usia 20-an ini adalah usia buat melihat lebih jauh tentang pernikahan? (Ha ha ha… sebenarnya saya sangat kikuk tapi juga pengen tertawa terbahak2 kalo udah ngomongin topic yang satu ini). Dengan sadis dan tidak berperasaannya mereka bilang “Udah tua kak, nanti gak laku”, duh…kesian deh saya. Hiks… T_T.

Padahal, sejujurnya saya sangat menikmati kehidupan saya saat ini. Saat saya bebas berexpresi dan lebih berani menghadapi kenyataan yang terjadi (Sombong euy…) Wuih…kalo dibandingin saya yg dulu, saya mah bedanya jauh… dulu saat sekolah dan awal2 kuliah, saya terkenal pendiam bangets, kutu buku, saklek, dll, dll (sori, musti disensor, coz bukan konsumsi public, hehe..). Sekarang? Masih juga dikit2, tapi gak kutu buku lagi. Kalo baca buku paling suka loncat ke bagian menariknya aja, jd gak pernah hatam tuh 1 buku, terkecuali novel. Eits, kok jadi cerita biography saya sih. Maaf… maaf….

Kembali ke topic sebelumnya. “Kira2 usia 24an atau 25an itu tua gak sih?”, itu yang sering saya tanyakan dalam hati. Tapi, terlepas tua atau muda, yang pentingkan saya ngerasanya saya muda (ngotot bangets kan?…). Makanya, saat MR ngasih formulir nikah, saya mikirnya lama bangets dan akhirnya sampe sekarang blm dikasih tuh ke MR. Bukan kenapa2, sebenarnya saya setuju2 saja sama perjodohan model begituan. Prosesnya lebih terjaga dan terbukti sakinah, mawaddah wa rahmah. Tapi, sejujurnya, dari hati saya yang paling dalam (ceile..)- saya gak siap dijodohkan. Kok? Gak tau deh. Mungkin, kalo harus memilih, saya akan memilih orang yang saya kenal, minimal pernah berinteraksi dengannya. Karena saya takut salah memilih, saya takut terkejut dg perbedaan karakter, dll lah. Keterkejutan karena perbedaan karakter sama orang yang sudah dikenal itu juga pasti ada, tapi minimal gak terkejut2 amat. Karena bagi saya, kesamaan pandangan hidup, kesamaan cita-cita dan tujuan, kesamaan selera, kesamaan cara berpikir itu juga penting adanya. Meski mungkin gak ada orang yang persis sama karakternya di dunia ini, ya…paling gak mendekati gitu. Dan gara2 ini nih saya sering dibilang standar tinggi. Padahal, biasa aja kali.

Ya…jd panjang lebar deh. Pokoknya, apapun itu. Saya maunya diatur aja sama Yang di Atas. Bukankah jodoh seseorang sudah ditetapkan sebelum ia lahir?. Saya juga mendoakan, semoga teman2 saya yang dulunya satu kampus, juga satu asrama, satu organisasi, yang juga udah pada 24 dan 25-an segera menemukan soulmatenya. Amin… bukankah kalo kita mendoakan seseorang, malaikat juga akan mendoakan buat yang berdoa. He he he… Bayangin kalo didoakan malaikat rame2, kira2 persentase untuk dikabulkan kan lebih besar ya. He he… ini rahasia teknik berdoa yang saya kasih ke temen2 semua. Semoga dikabulkan ya… amin, sekali lagi. :)

Senin, 04 Januari 2010

Datar-datar Saja

Perasaan saat ini datar2 saja. Tak ada yang begitu membuat susah, tak ada yang dipikirkan terlalu dalam, tak ada juga yang begitu membahagiakan hingga meluap2. Semuanya datar. Bagai air yg mengalir pada muaranya. Tapi, aku rasa lebih baik begini. Saat semuanya berada dalam kendali.

Sekarang sudah berada di tahun baru. Semua orang bersuka cita menyambutnya. Tapi bagiku, pergantian tahun hanya momentum. Pada hakikatnya, hidup tetap berjalan seperti sediakala. Apakah tahun ini juga akan menjadi tahun yang “Datar” juga? entahlah. Tuhan tahu itu semua. Aku hanya mencoba menjalani apa yang Tuhan gariskan. Mencoba menjadi seseorang yang ikhlas menerima apapun itu, termasuk apapun yang akan terjadi di tahun ini.

Berdoa Dengan Realistis

Saya ingin kembali mereview cerita masa kecil dulu, saat saya baru mengenal kata Tuhan. Walau waktu belajar sholat saya hanya bisa baca Al-Fatihah, tapi saya ingat betul bahwa kalau lagi berdoa setelah sholat, saya khusyuk bukan main, dan yakin bener bahwa Tuhan akan mengabulkan doa saya. Padahal waktu itu saya belum begitu paham akan eksistensi Tuhan. Yang saya tahu, Tuhan itu ada, dan saya dapat meminta apa saja pada-Nya, karena kata ibu saya, Tuhan itu punya segalanya dan Maha Kaya. Terbayang di otak saya waktu itu Tuhan itu seperti Tukang sihir yang punya harta melimpah (Ups, Tuhan = Tukang sihir ??????) yang bisa menciptakan dan mengabulkan apa saja permintaan manusia hanya dengan “sim salabim.” Sampai pada suatu saat permohonan saya terkabul. Nah, pikiran saya waktu itu beneran Tuhan itu hebat, buktinya doa saya dikabulkan walau saya gak pernah usaha maksimal. he… he….

Trus, waktu SMP, SMA saya juga sering berdoa untuk banyak hal yang baik2 buat saya. Diantaranya saya pernah berdoa untuk jadi juara kelas (paling gak 1o besar ), menang dalam setiap lomba2 yang diadakan di sekolah atau antar sekolah, dan masih banyak lagi. Tuhan pun jarang tak mengabulkan doa saya. Walau pernah juga Tuhan tak mengabulkan doa saya dan saya tentu saja bersedih.

Sekarang… saya baru sadar, ternyata ada yang salah dari cara berdoa saya waktu itu. Biasanya saya doanya saya gini Tuhan “Allah, saya mohon, jadikan saya juara kelas, atau saya mohon saya ingin menang dalam lomba ini, itu…” Saklek bangets! Maunya saya saklek, saya mintanya maksa. Padahal saya gak mikir, dengan doa seperti itu bukannya banyak orang yang akan saya “singkirkan?” kalo saya beneran juara kelas, berarti yang lain akan berada di posisi bawah donk? Kalo saya menang lomba apa gitu, yang lain akan kalah donk? Itu artinya doa saya sudah menzolimi orang lain. Lalu, saat Tuhan malah ngasih saya posisi gak “bergengsi” saya malah kalut bukan main, ternyata… Betapa gak enaknya menjadi seseorang yang berada di posisi kekalahan…padahal saya sering tanpa sengaja mendoakan orang berada di posisi itu…

Karena saya sudah sadar, sekarang saya gak mau minta sesaklek itu sama Tuhan. Kalo saya mau sesuatu saya gak mau maksa. Saya hanya akan bilang “Kalo itu yang terbaik buat saya… “ atau “Kalo usaha saya sudah Kau nilai cukup maksimal…, maka berikan hasilnya sebesar usaha saya…”. Berdoa juga harus realistis. Gak realistis bukan, kalo kita mintanya banyak dan baik2, tapi usaha kita gak sebanding dengan keinginan kita. Well, itu pelajaran baru bagi saya saat ini. Mungkin kita ingin selalu yang terbaik menurut versinya kita, buat Tuhan? Belum tentu, tapi saya percaya terbaik versinya Tuhan, gak selalu berada di posisi atas, gak harus selalu menjadi pemenang, gak harus nomer satu. Atau mungkin belum saatnya doa kita dikabulkan saat ini juga, tapi Tuhan menuggu saat yang tepat untuk mengabulkannya. Masih ingat katanya Arai di Novelnya Andrea Hirata seri Sang Pemimpi ‘Tetralogi Laskar pelangi ‘ ? “Tuhan tahu, tapi menunggu…”

Selamat Datang dan Selamat Tinggal

Ada banyak peristiwa yang membuat kita bertemu banyak orang. Pertemuan itu adalah kesempatan. Dan tidak ada satu pertemuan pun yang tidak disengaja. Semua pasti sudah tertulis dalam takdir manusia, dan menyiratkan maksud tertentu. Seperti kata orang bijak “semua pasti ada hikmahnya...”

Kita mungkin akan belajar banyak hal dari orang2 yang kita temui setiap hari. Siapa saja. Karena manusia satu sama lain itu unik. Ada yang mengajari kita kesabaran, ada yang mengajari kita kesederhanaan, ada yang mengajari kita ketulusan, ada yang mengajari kita optimisme, dan masih banyak lagi. Tapi kita tidak pernah tahu, siapakah dari mereka yang akan masuk lebih dalam di kehidupan kita, mungkin juga hati kita.

Seseorang mungkin akan masuk lebih jauh di kehidupan kita. Kita bersamanya setiap hari. Makan bersamanya, berjalan bersamanya, ngobrol dengannya, pendek kata beraktivitas bersamanya. Tapi itu bukan jaminan dia adalah seseorang yang masuk ke dalam hati kita. Bisa jadi seseorang yang menyentuh hati kita malah seseorang yang tidak selalu bersama kita, bahkan hanya sesekali kita temui, tapi ia membuat kita terkesan dan membuat kita memilih menyimpannya lebih jauh ke dalam hati.

Begitu banyak orang2 istimewa di luar sana. Tapi masalahnya tidak semua orang2 yang istimewa itu akan menjadi istimewa pula di hati kita. Seperti kata seseorang penulis, bertemu dengan banyak orang itu kesempatan, tapi mencintainya adalah pilihan. Begitu mudah kita mengucapkan “Welcome” pada siapa saja yang kita temui. Tapi begitu hati telah memilih seseorang untuk dicintai, kita merasa sulit mengucapkan “Good bye” saat harus melepasnya pergi.

Ketika kita mengatakan “Selamat datang” pada seseorang, kita akan mengatakannya sambil tersenyum. Namun saat kita mengucapkan “Selamat tinggal” kita hanya akan menangis dan terluka dalam. Meskipun demikian, kepergian juga mengajarkan banyak hal. Walau sejujurnya hati kita lebih menginginkan mereka tetap ada dan bersama kita hingga akhir kehidupan.

Itulah kehidupan. Datang dan pergi, tawa dan tangis, selamat datang dan selamat tinggal. Ya, tidak ada yang abadi...... tapi saya percaya, ketika kita melepaskan seseorang yang istimewa, kita pasti akan dipertemukan dengan banyak orang istimewa lainnya.....
So, there will be no more crying.

For my best friends in “Bro”. Finally, I let u go…