RSS

Kamis, 21 Januari 2010

Mengapa Aku Menulis

Waktu selalu menciptakan jarak dan objektifitas tentang apa yang sudah kulewati dalam hidup. Setelah menulis banyak cerita di buku harian dan blog ini, aku baru teringat bahwa aku punya hidup. Dan aku telah melakoni banyak adegan hidup ini.

Sejak dulu, aku terbiasa mencatat setiap kejadian mengesankan, membahagiakan, mengharukan, dan memedihkan dalam hidup ini.. Sekarang, saat aku kesal, benci, marah, tidak puas, pesimis, negatif, aku akan mengambil buku untuk menuliskannya.Aku mengakui, bahwa semua itu hanya perasaan, dan perasaan bisa berubah. Aku juga tahu itu adalah energi yang ingin menemukan tempatnya.

Aku mulai menulis dari kebahagian dan kepedihan setiap hari, yang pada akhirnya akan menghadirkan kecintaan pada hidupku yang kecil dan sering kehilangan arah ini. MePost Optionsngapa aku menulis? Ya, karena aku lebih memilih menutup mulut dari pada mengumbar egoku untuk bercerita pada mereka. Aku menulis, untuk menyembunyikan ego sejatiku, bahwa aku ingin keabadian, aku ingin orang-orang yang kucintai berada bersamaku selamanya. Aku benci kesementaraan kita, aku benci berlalunya waktu. Di tepi kebahagiaan yang kumiliki kini, ada duka yang merayap, bahwa semua ini akan berlalu.

Aku menulis karena aku bersyukur memiliki pikiran, perasaan, kedua tangan, lengkap dengan jari jemarinya. Selainnya, aku adalah orang yang mudah terkagum-kagum pada Alam ciptaan-Nya. Mungkin, banyak yang tak tahu rasa indahnya berada di bawah senja yang tiba-tiba datang, perak dilangit-langit, gemuruhnya hujan, dan harumnya rumput di pagi hari.

Aku menulis karena aku sendirian dan berjalan di dunia sendirian. Hidupku adalah milikku, dan tak seorang pun tahu apa yang telah aku lalui, dan lebih mengherankan lagi, kadang aku pun tak tahu. Aku hanya menulis, karena kadang aku hilang kekuatan untuk bertahan. Aku menulis karena aku gila pada ajaibnya kehidupan ini, dan kurasa aku harus melakukan sesuatu selain membuangnya ke tempat sampah.

Aku menulis karena ada cerita-cerita yang dilupakan orang untuk diceritakan. Karena aku seorang perempuan yang kerap dipandang lemah oleh mereka yang bernama laki-laki. Aku menulis karena aku menyukai kata-kata. Teramat menyukai puisi, juga harumnya kertas.

Aku menulis karena aku mencoba menjadi lebih hidup, menemukan jarak di ruang kecilku sendiri, mendorongnya keluar dan memberinya warna dan bentuk. Aku menulis karena aku terlalu miskin untuk membuat dunia khayalku menjadi nyata, dan menulis mungkin adalah satu-satunya yang kumiliki.

Aku menulis karena aku kadang tak mengerti apa yang benar-benar kurasakan.
Aku menulis karena rasa bahagia yang Tuhan berikan. Aku menulis karena rasa pedih yang tak bisa kusampaikan dan bagaimana membuat rasa itu diterima; bagaimana membuat diriku kuat dan kembali pulang, menemukan jalan terbaikku. Aku menulis karena aku punya hati dan itu mungkin satu-satunya rumah sejati yang pernah benar-benar kumuliki.

Pada akhirnya, aku menulis karena aku ingin merekam semuanya selagi aku masih muda dan masih bisa mengingat semuanya dengan benar. Dan aku ingin aku punya sesuatu yang bisa kuceritakan saat aku tua nanti.

Minggu, 17 Januari 2010

Esai Kesendirian


Menulis lagi.
Dalam lembar-lembar kosong,
hati yang tak pasti,
pikiran yang kusut
dan ketiadaan rasa.

Beberapa hari ini, aku memustuskan aku perlu sendirian. Meski sebenarnya ketakutan terbesar dlm hidupku adalah kesendirian. Tapi, ketakutan terbesar itulah yang harus kutaklukkan demi sesuatu yang aku sebut impian hidup. Makanya, saat ini aku memberanikan diri untuk berhadapan dengan kesendirian, walau pada akhirnya, aku akan merasa sangat kesepian.

Kesepian. Apalagi makhluk yang satu ini. Bicara tentangnya sama saja bicara tentang kengerian dan kepekatan malam. Tapi, untuk saat ini, ia juga adalah teman. Padanya, aku bertanya apa yang akan kulakukan dan apa yang harus kuyakini. Dengannya, semua ide cerita hidup dan mengalir seperti air yang menemukan muaranya.

Aku mencintai kesendirian itu. Aku mencari-carinya bila ia pergi jauh. Aku nyaman menghabiskan waktu sendirian. Kemana saja. Ke kampus, ke mall mencari buku-buku favorit, ke tepian sungai, kemana saja.

Aku juga sadar, bahwa hidup tak harus sendirian. Tapi, paling tidak, beberapa hari ini, izinkan aku sendrian. Aku ingin berpikir, ingin merenung, ingin larut sejenak dalam imajinasiku sendiri, dan ingin terbang bersama kesedihan. Tak perlu semua orang tahu bahwa kali ini aku sedang rapuh. Hingga tak perlu membenani mereka dengan membuat status betapa sedih dan melankolisnya aku saat ini di status pertemanan atau bercerita panjang lebar sambil terisak-isak. Tak perlu!. Lukaku, milikku sendiri. Biarlah yang tertulis di sana kata-kata yang akan membuat inspirasi buat orang-orang di sekelilingku, atau paling tidak kata-kata yang mengajak diri ini untuk bersemangat. Walau kadang kita harus mengatakan apa yang sebenarnya tidak kita rasakan, atau sebaliknya tidak mengatakan apa yang kita rasakan.
Entahlah...

Minggu, 10 Januari 2010

Hidup, Akan Kemanakah Kita Hari ini?


Kadang, ku ingin hidup berhenti di suatu detik
Kadang, kuingin hidup menungguku
Apakah di suatu persimpangan yang aku tersesat
Ataukah di sebuah kereta yang aku terlambat
Ya, aku ingin hidup menoleh padaku

Lagi, kemarin aku bertanya pada hidup
“hidup, akan kemanakah kita hari ini?”
Tapi lagi, hanya diam tanpa jawab
Ia berlalu, sambil menarik tanganku,
membawaku pergi ke suatu tujuan yang tak kuketahui
Hingga aku lelah dan akhirnya terlelap di suatu gelap

Hari ini, kembali kuterbangun
Berharap, ia akan bertanya padaku
“Jiwa, kau mau kemana?”
Tapi tidak, dia hanya berkata “Ikutilah aku”
Dan begitulah seterusnya
Entah sampai kapan….



Lagi, Kuminta Ia Menguatkan.


Begitu banyak hal tak terduga yang terjadi dan akan terjadi di kemudian hari. Kadang membuat bahagia, kadang membuat sedih, kadang terkejut dan kadang datar2 saja. Tapi, ada satu hal yang selalu kuminta pada-Nya, kuatkan aku menghadapi semuanya dengan hati yang lapang. Aku ingin ikhlas, ingin bisa tersenyum menghadapi semuanya, walaupun hati sebenarnya lebih ingin menangis, walaupun pikiran memaksa untukku menyerah, walaupun aku kehabisan kata2 untuk menegarkan diri.

Aku bukan anak kecil. Yang apapun keinginannya harus selalu dikabulkan. Aku bukan anak kecil yang harus menyikapi ketiadaan dengan menangis sejadi-jadinya. Aku manusia dewasa. Meskipun kadang juga butuh setetes dua tetes air mata. Dan kurasa, semua manusia membutuhkan air mata, apakah kecil atau dewasa. Bukan semata2 ingin meneggelamkan diri dengan melankolisme, hanya sebuah ungkapan perasaan atas ketidakberdayaan dan kelemahan sebagai manusia untuk kembali menyerahkan urusan pada-Nya.

Tak Menentu

Aku paling tidak senang berhadapan dengan hati yang melankolis seperti ini. Aku benci saat aku kehilangan tenaga untuk bisa berpikir lebih logis dan bijaksana. Aku benci diriku yang patah semangat, aku benci aku yang mudah menyerah oleh keadaan, aku benci hatiku yang rapuh. Seperti saat ini. Saat semuanya berada di luar kendaliku.

Ada apa denganku pagi ini? Bangun dengan perasaan yang sulit kuungkapkan, tak menentu. Padahal aku telah menyusun hati dengan sebaik2nya beberapa waktu lalu. Dan hari ini aku harus bertemu dengan banyak orang. Kalau moodku sedang hilang begini, mungkinkah semuanya akan baik2 saja? huh! I don’t like the way I’m this morning.

Rabu, 06 Januari 2010

20 Tahun-an Identik Dengan Menikahkah?

Sewaktu masih di semester2 awal kuliah dan masih berumur belasan tahun dulu, saya berpikir jika usia seseorang sudah memasuki usia 20 tahun-an, itu adalah umur yang sangat dewasa, jika tidak boleh dibilang tua. Tapi, saat saya menjadi bagian dari orang2 yang berumur 20 tahun-an, kok saya sendiri mikirnya berubah. Saya merasa, umur segitu belum layak dibilang “tua” walaupun katanya usia seorang perempuan yang baik untuk menikah itu ya di bawah 25-an. Lho…kok jadi ngomongin nikah ya? He he…
Iya, bukan apa2. Karena saat umur sudah akan menginjak 25 ini, semua orang pada sibuk “nyuruh nikah”.Gak temen2 kampus, gak temen2 seasrama, gak murobbi, semua pada ngomongin nikah. Materi2 tentang pernikahan dan kerumah tanggaan juga gak ketinggalan. Apakah usia 20-an ini adalah usia buat melihat lebih jauh tentang pernikahan? (Ha ha ha… sebenarnya saya sangat kikuk tapi juga pengen tertawa terbahak2 kalo udah ngomongin topic yang satu ini). Dengan sadis dan tidak berperasaannya mereka bilang “Udah tua kak, nanti gak laku”, duh…kesian deh saya. Hiks… T_T.

Padahal, sejujurnya saya sangat menikmati kehidupan saya saat ini. Saat saya bebas berexpresi dan lebih berani menghadapi kenyataan yang terjadi (Sombong euy…) Wuih…kalo dibandingin saya yg dulu, saya mah bedanya jauh… dulu saat sekolah dan awal2 kuliah, saya terkenal pendiam bangets, kutu buku, saklek, dll, dll (sori, musti disensor, coz bukan konsumsi public, hehe..). Sekarang? Masih juga dikit2, tapi gak kutu buku lagi. Kalo baca buku paling suka loncat ke bagian menariknya aja, jd gak pernah hatam tuh 1 buku, terkecuali novel. Eits, kok jadi cerita biography saya sih. Maaf… maaf….

Kembali ke topic sebelumnya. “Kira2 usia 24an atau 25an itu tua gak sih?”, itu yang sering saya tanyakan dalam hati. Tapi, terlepas tua atau muda, yang pentingkan saya ngerasanya saya muda (ngotot bangets kan?…). Makanya, saat MR ngasih formulir nikah, saya mikirnya lama bangets dan akhirnya sampe sekarang blm dikasih tuh ke MR. Bukan kenapa2, sebenarnya saya setuju2 saja sama perjodohan model begituan. Prosesnya lebih terjaga dan terbukti sakinah, mawaddah wa rahmah. Tapi, sejujurnya, dari hati saya yang paling dalam (ceile..)- saya gak siap dijodohkan. Kok? Gak tau deh. Mungkin, kalo harus memilih, saya akan memilih orang yang saya kenal, minimal pernah berinteraksi dengannya. Karena saya takut salah memilih, saya takut terkejut dg perbedaan karakter, dll lah. Keterkejutan karena perbedaan karakter sama orang yang sudah dikenal itu juga pasti ada, tapi minimal gak terkejut2 amat. Karena bagi saya, kesamaan pandangan hidup, kesamaan cita-cita dan tujuan, kesamaan selera, kesamaan cara berpikir itu juga penting adanya. Meski mungkin gak ada orang yang persis sama karakternya di dunia ini, ya…paling gak mendekati gitu. Dan gara2 ini nih saya sering dibilang standar tinggi. Padahal, biasa aja kali.

Ya…jd panjang lebar deh. Pokoknya, apapun itu. Saya maunya diatur aja sama Yang di Atas. Bukankah jodoh seseorang sudah ditetapkan sebelum ia lahir?. Saya juga mendoakan, semoga teman2 saya yang dulunya satu kampus, juga satu asrama, satu organisasi, yang juga udah pada 24 dan 25-an segera menemukan soulmatenya. Amin… bukankah kalo kita mendoakan seseorang, malaikat juga akan mendoakan buat yang berdoa. He he he… Bayangin kalo didoakan malaikat rame2, kira2 persentase untuk dikabulkan kan lebih besar ya. He he… ini rahasia teknik berdoa yang saya kasih ke temen2 semua. Semoga dikabulkan ya… amin, sekali lagi. :)

Senin, 04 Januari 2010

Datar-datar Saja

Perasaan saat ini datar2 saja. Tak ada yang begitu membuat susah, tak ada yang dipikirkan terlalu dalam, tak ada juga yang begitu membahagiakan hingga meluap2. Semuanya datar. Bagai air yg mengalir pada muaranya. Tapi, aku rasa lebih baik begini. Saat semuanya berada dalam kendali.

Sekarang sudah berada di tahun baru. Semua orang bersuka cita menyambutnya. Tapi bagiku, pergantian tahun hanya momentum. Pada hakikatnya, hidup tetap berjalan seperti sediakala. Apakah tahun ini juga akan menjadi tahun yang “Datar” juga? entahlah. Tuhan tahu itu semua. Aku hanya mencoba menjalani apa yang Tuhan gariskan. Mencoba menjadi seseorang yang ikhlas menerima apapun itu, termasuk apapun yang akan terjadi di tahun ini.

Berdoa Dengan Realistis

Saya ingin kembali mereview cerita masa kecil dulu, saat saya baru mengenal kata Tuhan. Walau waktu belajar sholat saya hanya bisa baca Al-Fatihah, tapi saya ingat betul bahwa kalau lagi berdoa setelah sholat, saya khusyuk bukan main, dan yakin bener bahwa Tuhan akan mengabulkan doa saya. Padahal waktu itu saya belum begitu paham akan eksistensi Tuhan. Yang saya tahu, Tuhan itu ada, dan saya dapat meminta apa saja pada-Nya, karena kata ibu saya, Tuhan itu punya segalanya dan Maha Kaya. Terbayang di otak saya waktu itu Tuhan itu seperti Tukang sihir yang punya harta melimpah (Ups, Tuhan = Tukang sihir ??????) yang bisa menciptakan dan mengabulkan apa saja permintaan manusia hanya dengan “sim salabim.” Sampai pada suatu saat permohonan saya terkabul. Nah, pikiran saya waktu itu beneran Tuhan itu hebat, buktinya doa saya dikabulkan walau saya gak pernah usaha maksimal. he… he….

Trus, waktu SMP, SMA saya juga sering berdoa untuk banyak hal yang baik2 buat saya. Diantaranya saya pernah berdoa untuk jadi juara kelas (paling gak 1o besar ), menang dalam setiap lomba2 yang diadakan di sekolah atau antar sekolah, dan masih banyak lagi. Tuhan pun jarang tak mengabulkan doa saya. Walau pernah juga Tuhan tak mengabulkan doa saya dan saya tentu saja bersedih.

Sekarang… saya baru sadar, ternyata ada yang salah dari cara berdoa saya waktu itu. Biasanya saya doanya saya gini Tuhan “Allah, saya mohon, jadikan saya juara kelas, atau saya mohon saya ingin menang dalam lomba ini, itu…” Saklek bangets! Maunya saya saklek, saya mintanya maksa. Padahal saya gak mikir, dengan doa seperti itu bukannya banyak orang yang akan saya “singkirkan?” kalo saya beneran juara kelas, berarti yang lain akan berada di posisi bawah donk? Kalo saya menang lomba apa gitu, yang lain akan kalah donk? Itu artinya doa saya sudah menzolimi orang lain. Lalu, saat Tuhan malah ngasih saya posisi gak “bergengsi” saya malah kalut bukan main, ternyata… Betapa gak enaknya menjadi seseorang yang berada di posisi kekalahan…padahal saya sering tanpa sengaja mendoakan orang berada di posisi itu…

Karena saya sudah sadar, sekarang saya gak mau minta sesaklek itu sama Tuhan. Kalo saya mau sesuatu saya gak mau maksa. Saya hanya akan bilang “Kalo itu yang terbaik buat saya… “ atau “Kalo usaha saya sudah Kau nilai cukup maksimal…, maka berikan hasilnya sebesar usaha saya…”. Berdoa juga harus realistis. Gak realistis bukan, kalo kita mintanya banyak dan baik2, tapi usaha kita gak sebanding dengan keinginan kita. Well, itu pelajaran baru bagi saya saat ini. Mungkin kita ingin selalu yang terbaik menurut versinya kita, buat Tuhan? Belum tentu, tapi saya percaya terbaik versinya Tuhan, gak selalu berada di posisi atas, gak harus selalu menjadi pemenang, gak harus nomer satu. Atau mungkin belum saatnya doa kita dikabulkan saat ini juga, tapi Tuhan menuggu saat yang tepat untuk mengabulkannya. Masih ingat katanya Arai di Novelnya Andrea Hirata seri Sang Pemimpi ‘Tetralogi Laskar pelangi ‘ ? “Tuhan tahu, tapi menunggu…”

Selamat Datang dan Selamat Tinggal

Ada banyak peristiwa yang membuat kita bertemu banyak orang. Pertemuan itu adalah kesempatan. Dan tidak ada satu pertemuan pun yang tidak disengaja. Semua pasti sudah tertulis dalam takdir manusia, dan menyiratkan maksud tertentu. Seperti kata orang bijak “semua pasti ada hikmahnya...”

Kita mungkin akan belajar banyak hal dari orang2 yang kita temui setiap hari. Siapa saja. Karena manusia satu sama lain itu unik. Ada yang mengajari kita kesabaran, ada yang mengajari kita kesederhanaan, ada yang mengajari kita ketulusan, ada yang mengajari kita optimisme, dan masih banyak lagi. Tapi kita tidak pernah tahu, siapakah dari mereka yang akan masuk lebih dalam di kehidupan kita, mungkin juga hati kita.

Seseorang mungkin akan masuk lebih jauh di kehidupan kita. Kita bersamanya setiap hari. Makan bersamanya, berjalan bersamanya, ngobrol dengannya, pendek kata beraktivitas bersamanya. Tapi itu bukan jaminan dia adalah seseorang yang masuk ke dalam hati kita. Bisa jadi seseorang yang menyentuh hati kita malah seseorang yang tidak selalu bersama kita, bahkan hanya sesekali kita temui, tapi ia membuat kita terkesan dan membuat kita memilih menyimpannya lebih jauh ke dalam hati.

Begitu banyak orang2 istimewa di luar sana. Tapi masalahnya tidak semua orang2 yang istimewa itu akan menjadi istimewa pula di hati kita. Seperti kata seseorang penulis, bertemu dengan banyak orang itu kesempatan, tapi mencintainya adalah pilihan. Begitu mudah kita mengucapkan “Welcome” pada siapa saja yang kita temui. Tapi begitu hati telah memilih seseorang untuk dicintai, kita merasa sulit mengucapkan “Good bye” saat harus melepasnya pergi.

Ketika kita mengatakan “Selamat datang” pada seseorang, kita akan mengatakannya sambil tersenyum. Namun saat kita mengucapkan “Selamat tinggal” kita hanya akan menangis dan terluka dalam. Meskipun demikian, kepergian juga mengajarkan banyak hal. Walau sejujurnya hati kita lebih menginginkan mereka tetap ada dan bersama kita hingga akhir kehidupan.

Itulah kehidupan. Datang dan pergi, tawa dan tangis, selamat datang dan selamat tinggal. Ya, tidak ada yang abadi...... tapi saya percaya, ketika kita melepaskan seseorang yang istimewa, kita pasti akan dipertemukan dengan banyak orang istimewa lainnya.....
So, there will be no more crying.

For my best friends in “Bro”. Finally, I let u go…