RSS

Senin, 27 Juli 2009

Kisah Dua Sandal Jepit


Suatu waktu, saya pernah merasa malu dengan sandal jepit saya. Meskipun nyaman dipakai, ternyata ia sudah butut. Lantas saat pergi ke pasar Flamboyan bersama seorang teman, saya pun hunting sandal jepit baru yang tampangnya lebih kece dan harganya pasti lebih mahal dari harga sandal jepit saya, yang seingat saya hanya dibeli seharga 7.000 rupiah dulu.

Sesampai dirumah, saya pun makin percaya diri dengan sandal jepit baru saya. Enak rasanya melihat kaki tampil ’cantik’ dengan sandal tersebut. Sedang nasib sandal jepit saya yang butut itu sungguh malang, saya memasukkannya ke gudang.

Tiga hari berlalu, ternyata sandal baru itu menyiksa kaki saya. Meskipun kelihatan kece, nyatanya permukaan talinya yang keren membuat kaki saya lecet. Saya pun mudah capek berjalan dengan sandal baru itu.

Sorenya, saya mengeluarkan kembali sandal jepit butut saya dari dalam gudang. Di depan pintu kamar saya pandangi kedua sandal itu lekat-lekat. Saya jadi malu sendiri sama si sandal jepit (aneh juga ya, malu kok sama sandal jepit). Lantas saya tersenyum ”ternyata Allah mengajari saya menerima takdir”.

Itulah kawan, kisah dua sandal jepit itu mengingatkan saya, bahwa apa yang saya anggap baik selama ini, belum tentu baik menurut Allah. Dan apa yang saya anggap jelek, belum tentu jelek di hadapan-Nya. Saya adalah orang yang seringkali mengeluh soal takdir-Nya, padahal IA punya rahasia terindah di balik itu semua... Allah maha tahu, sedang kita tak tahu apa-apa.

Terima kasih sandal jepitku....

Pernahkah kau jatuh cinta?


Aku pernah. Ia adalah seseorang yang rupawan, bahkan beberapa waktu ini ia lebih rupawan. Apalagi ketika ia menjumpaiku di waktu sore dan malam hari, ia semakin mempesona. Sehingga aku kehabisan kata-kata untuk menjelaskannya.

Sehabis penat seharian menjalani hari, aku selalu pergi menemuinya. Dan jika sudah bersamanya, rasanya tak ingin kemana-mana. Berat sekali rasanya untuk berpisah. Ia selalu mengajariku untuk menanam harap setinggi-tingginya, ia menghilangkan beban, membuatku bernafas lega. Ia adalah inspirasi...

Hal ini juga yang aku lakukan ketika aku sedih, gembira, menangis atau tertawa. Aku selalu menyampaikan padanya perihal isi hatiku. Ia adalah pendengar yang baik kawan, tak pernah mengeluh, apalagi marah. Dan aku jatuh cinta padanya.
Maha suci Allah menciptakan makhluk sesempurna dirinya. Maukah kau tahu nama seseorang yang mempesona itu kawan? Nama seseorang itu adalah ...LANGIT

Maha Suci Allah atas ciptaan-Nya....

”Allah menciptakan beban, juga menciptakan pundaknya. Dan Langit adalah salah satu pundak itu”

Tak Ada yang Abadi


Sejak beberapa minggu ini lagu Peterpan ‘Tak Ada Yang Abadi’ selalu menjadi inspirasiku. Sedang berusaha berlapang dada saat ini. Karena segala sesuatu di dunia ini akan pergi, termasuk hidup itu sendiri. Maka saat ini, aku juga sedang mempersiapkan diri menerima kepergian dan kehilangan itu.

Jadi, tiap kali bangun tidur, kuputuskan untuk sungguh-sungguh menikmati hari ini, lantas berusaha menciptakan hari terindah. Hingga suatu saat hari ini layak untuk dikenang....siapa tahu esok hilang ke alam keabadian.



Takkan selamanya tanganku mendekapmu

Takkan selamanya raga ini menjagamu

Seperti alunan detak jantungku

Tak bertahan melawan waktu

Semua keindahan yang memudar

Atau cinta yang telah memudar

Tak ada yang abadi

Tak ada yang abadi

Tak ada yang abadi

Tak ada yang abadi

Biarkan aku bernafas sejenak

Sebelum hilang

Tak kan selamanya tanganku mendekapmu

Tak kan selamanya raga ini menjagamu

Jiwa yang lama segera pergi

Bersiaplah para pengganti

Kamis, 16 Juli 2009

Nikah

Nikah. Satu topic yang membuat saya cukup canggung saat menuliskannya. Tapi karena ini permintaan seorang teman, akhirnya saya memberanikan diri untuk sedikit bicara tentang pernikahan. Kata teman-teman saya ini topic ‘berat’, juga bagi saya. Sekali lagi tulisan ini hanya persepsi seorang ‘saya’ yang masih jauh dari referensi. Maklum, saya ini bukan ustadz, atau orang yang punya kafaah syar’i soal pernikahan dan membangun rumah tangga, apalagi orang yang punya pengalaman pribadi soal ini. So, bagi siapapun yang membaca tuisan ini dan kurang setuju, monggo…untuk memberikan masukan dan meluruskan pemahaman saya ini.

Sejujurnya tema ini sedang hangat-hangatnya di telinga saya. Dan cukup menarik perhatian saya baru-baru ini. Semua memang salah teman-teman saya yang umurnya sudah pada mau 25-an itu. Kalau sudah ‘ngumpul’, tema ini cukup menjadi salah satu tema ‘populer’ diskusi kami. Eit, jangan salah paham dulu… yang menjadi bahan diskusinya insya Allah masih dalam batas koridor yang wajar menurut saya, tidak macam-macam..

Ya gitulah, mungkin memang sudah waktunya bicara soal pernikahan, hitung-hitung sebagai upaya mempersiapkan diri hingga sampai waktunya. Mau tidak mau, karena suatu saat saya dan anda akan menjalaninya juga. Bukankah sesuatu yang dipersiapkan akan lebih sukses dari yang tidak dipersiapkan? Sebenarnya ada sedikit kelucuan dari teman-teman saya yang ‘lugu’ itu saat bicara soal menikah. Mulai dari criteria pendamping hidup, prosesi pernikahan, hingga urusan mengelola rumah tangga (kayak udah pada berpengalaman semua ^_^, padahal…)

Yang paling menarik dari tema ini adalah soal criteria pasangan. Maklum, yang ngomong ini para idealis dan para sarjana atau hampir sarjana, yang keluar pastinya pandangan2 ideal dan perfeksionis pula. Terlepas dari itu semua, saya jadi teringat perkataan seorang ustad: “perempuan itu kalo disodorkan pasangan kalau umurnya masih 20-an komentarnya ‘siapa kamu?’. Nah, kalo udah 25-an ke atas komentarnya ‘siapa sih?’ dan kalau udah 30-an akan menjadi ‘siapa aja’.” Gubrak…!!! Ngeri bener ya. Maksud saya ngeri membayangkan nasib perempuan yang telat nikah karena kesalahannya di masa lalu menetapkan standar yang terlalu tinggi.

Apakah salah menetapkan standar yang tinggi? Tidak, menurut saya. Manuasiawi dan wajar malah. Mengapa tidak boleh menginginkan yang terbaik untuk hidup kita. Apalagi someone ini nantinya akan mendampingi seumur hidup kita. Seumur hidup, bayangkan!. Laki-laki atau ikhwan saya rasa juga begitu. Pastinya criteria calon istri yang diidamkan tentulah perempuan baik2(sholehah), cerdas, pinter masak, bisa ngurus rumah dan ngurus anak, dst, dll, dsb (si laki2/ikhwan pastinya lebih tahu).

Suatu hari teman2 saya nanya, apakah saya juga punya criteria? Soalnya, menurut mereka saya ini yang paling sedikit commentnya kalo udah bicara tentang pernikahan. Jawabannya pasti punya, sama seperti mereka juga anda. Gini2, kita tak ingin sembrono alias sembarangan. Tapi pertanyaan selanjutnya yang mesti dijawab adalah ‘Siapa sih kita?’ ‘hafalan quran kita berapa juz?’, Jika sholeh/sholehah menjadi criteria utama kita, apa yakin kita benar2 baik untuk mendampingi orang yang baik (sholeh)? Apa kita juga ‘on criteria’ atau standarnya kita malah ketinggian padahal kita Cuma ordinary person(baca; orang biasa)..ups,

“Saya ini mahasiswa, jadi nikahnya yang sama mahasiswa juga donk, calon sarjana, yang punya masa depan jelas”, kata teman saya suatu waktu. Teman saya yang lain nyambung “Kalau saya kan orangnya mobile, aktivis, banyak amanah, musti nyari yang mobile dan produktif juga donk…”. Tapi ada satu teman yang bikin saya kagum berat sama belio, dia bilangnya gini :”Saya sih siapa saja boleh, asal yang bisa menjaga saya dan keluarga saya, bisa menuntun saya lebih sholeh, dan saya siap2 aja mau hidup dimanapun dan bagaimanapun”. Walah…saya jadi malu sendiri mendengarnya, soalnya saya ini belum bisa seikhlas itu.

Sekali lagi, saya rasa tidak ada salahnya menentukan standar. Islam juga mengatur hal ini, bahwa sekufu atau kesetaraan dalam memilih pasangan mutlak diperlukan. Namun, jangan sampai ini malah menyulitkan kita sendiri. Ujung2nya telah nikah karena tak kunjung menemukan pasangan ‘on croteria’ itu. Karena kata guru ngaji saya menikah itu adalah menggenapkan separuh agama. Kenapa ‘separuh’ yang diungkapkan, karena diri kita ini memang tak sempurna. Menikah adalah momentum untuk saling melengkapi ketidaksempurnaan tadi. Saling mensupport, saling mengisi untuk lebih produktif, tumbuh dan berkembang bersama-sama istilahnya. Seperti tulisan teman saya di blognya “Cinta ibarat menunggu bus”, jangan sampai deh kita melewatkan bus2 yang kelihatannya kurang nyaman, sesak, panas, hanya untuk menunggu bus2 yang nyaman, sepi penumpang, agar lebih adem, padahal kita tak pernah tahu kapan bus seperti itu akan menjemput kita…

Sekali lagi, tulisan ini persepsi saya pribadi. Yang pastinya, saya ini tidak fakar soal nikah, membina rumah tangga apalagi mengurusi anak… :-). Intinya jauh tidak berpengalaman dari anda semua. Hanya berusaha lebih produktif dengan menulis apa yang menurut saya perlu untuk dituliskan dan dibagi bersama. Selebihnya, seperti yang diajarkan teman saya yang arsitek itu, kita kembalikan pada yang Maha Tahu saja. Wallahualam…



Terinspirasi dari sahabat seperjuangan, ‘bro’ crew, terimakasih banyak atas diskusinya yang membuat saya surprise, kagum, gembira, dan lucu sendiri sendiri… tapi tetap penuh ‘ide’ dan cukup berisi…
katanya Krisdayanti “aku tak mau jadi tuna cinta, ” so, siapa yang mau duluan…???
Teman sehatiku, ukh Vitha, ini persembahanku...jangan diketawain ya...;)