RSS

Senin, 11 Agustus 2008

Kacau

"Rasa kehilangan hanya akan ada,
Jika ku pernah merasa memilikinya..."
(Letto's song, Memiliki Kehilangan)

Puih..., Rasanya pikiran kacau banget, kesel, sedih, dan pengin nangis, pengen teriak sekencang2nya. Sakit banget... bahkan lebih sakit dari yang namanya sakit hati en sakit gigi. Bukan apa2 sih, cuma lagi nggak siap aja menjalani perpisahan ini (kayak lagu ya...?). Susah kali cari orang yang mengerti kita, yang sama hobi sama kita, atau yang bener2 nyantol di hati kita. Tapi, tiba2 aja... harus berpisah. Mendadak banget, sampai2 gak sempat say good bye. Huh... Sekarang??? lagi2 terkejut, yang baru nyatanya beda banget ama yang lama. So cool, calm, and... (it's a secret).
Well, Tarbiyah emang nggak ada matinya, ding. Bertahun2 di lingkarang ini sampai bejamur pun masih tetap aja harus di tarbiyah. Sedih??? Pasti lah, tapi lapangin hati lebar2 aja deh. Allah lebih yahu yang terbaik untuk ku.
Met tinggal ya my beloved friends, Al-Ma'arij crew, temen2 liqo yang ceria, yang punya hobi sama, suka foto and makan. Berat banget pisah dari kalian, sahabat2 luar biasa yang banyak membawa inspirasi. Kayak kayanya Letto, rasa kehilangan itu ada, jika pernah merasa memiliknya.

to: SS, UK, SDJ, RJ, LS, SA, HS, AW, FT, and super MR, Mbak M, Moga cepat menyelesaikan S2nya.

Jumat, 08 Agustus 2008

Mampir Menjenguk Blog Koe

Lama gak nge-blog lagi. Ke warnet sih sering, tapi lagi-lagi harus browsing. jadilah blog ini di"telantarkan" begitu saja bak gak berpenghuni. Tugas akhir cukup berat rasanya. Musti nyari bahan, mesti lembur malam, yang pasti mesti nyari maisyah juga dunk biar lancar. Pokok ne mesti extra kuat mental dan kuat finasial. Musti jadi super women juga belakangan ini. Beginilah nasibnya "orang tua" di kampus. Dari pada nanti di bilang "penghuni Kampus" mending cepat-cepat selesaikan Tugas akhir. Oh ya bentar lagi di kampus tercinta ini ada suksesi PEMIRAMA. Agenda tahunan yang jadi "proyek" rebutan. Siapa ya yang akan menduduki kursi nomor 1 dan nomor 2 di kampus ini? whoeverlah, yang pasti yang bapak/ibu presma dan wapresma nantinya musti punya visi n misi buat menjadikan FKIP lebih baik dari kepemimpinan Didi n Anti (nama panggilan waktu kampanye, red).

"Selamat tinggal BEM ku sayang.
Rumah tempatku bernyanyi dan tertawa riang..
Tempatku belajar meniti asa...
Tempatku menumpukan segala cita-cita...
Tempatku menemukan sepotong optimisme untuk terbang
Tempatku menemukan sebait jati diri dari cerita yang hilang...
Telah kupersembahkan segala baktiku...

Jumat, 27 Juni 2008

AKU INGIN MENGEPAKKAN SAYAP

"Aku ingin mengepakkan sayap,
Di suatu tempat yang sangat tinggi.
Aku ingin menerbangkan letih,
Pada awan yang menggumpal putih..."


Kadang, kita merasa sangat kelelahan berjalan. Entah karena panas matahari yang terik atau derasnya hujan, atau mungkin karena angin malam yang mendinginkan badan. Sunnatullah dakwah kah itu namanya? Ya, itulah sunnatullah. Ketetapan bagi mereka yang memilih "kekal di dalam akhirat yang indah".

Tribulasi adalah keniscayaan. Kalimat pertama yang terasa menggetarkan semangat perjuangan pada awal2 tarbiyah dulu. Ah, rasanya ingin segera memenuhi panggilan dakwah seketika itu juga. Namun beberapa tahun berjalan, nyatanya tak seperti yang diharapkan. Kadang tribulasi yang datang serasa menggerogoti semangat perjuangan. Kanan kiri, melihat teman-teman yang "berhasil", cepat lulus kuliah atau berprestasi di bidang akademik, rasa iri itu pasti ada. Apalagi kala kita merasa kita dulunya juga golongan orang2 yang punya prestasi yang sama seperti mereka. Rasa kangen pada masa lalu itu tiba-tiba menjelma menjadi titik-titik yang memilukan, karena kita saat ini bukanlah kita yang dahulu dengan segudang prestasi akademis atau mahasiswa kesayangan dosen di kampus. Kesibukan dakwah dan mengurusi masalah ummat, serta merta mengambil jatah waktu istirahat dan belajar kita, walaupun sebenarnya di luar itu kita telah belajar lebih banyak dari mereka yang sekedar mengurusi diktat-diktat kuliah. Ya, sebenarnya kita telah belajar untuk peduli dengan orang lain, di saat orang lain sibuk mengurusi diri mereka sendiri. Kita belajar untuk ikhlas di saat kita mendapatkan nilai yang biasa-biasa saja di suatu mata kuliah, meski sebenarnya di mata Allah kita mendapat nilai istimewa. Kita belajar untuk berkorban, memberikan harta, tenaga dan pikiran kita meski kadang banyak yang tak pedulikan pengorbanan kita. Hanya berharap suatu saat Allah pasti akan memberi bonus pada kita, walau pastinya kita tak tahu.

Manusiawi. Perasaan letih, sakit, sedih, marah, atau segudang ekspresi perasaan lainnya adalah manusiawi. Kita aktivis dakwah, manusia dan bukan malaikat. Siapa pun pasti tak ingin hidupnya berantakan. Siapa pun pasti mendambakan hidup "nyaman" di dunia.
Namun, apakah itu satu2nya tujuan? atau itukah semulia2 keinginan? We have known the answer. Kita sudah tahu jawaban yang benar.....

Selasa, 24 Juni 2008

Buat Penguruz BEM FKIP 2007-2008

BEM FKIP, In Memoriam...

Perasaan lagi nggak karuan. Ngantuk, Panas and mau muntah (ups...). Ya, begitulah suasana di siang hari. Btw, nggak tau mau nulis apa di blog ini. Pikiran lagi kacau banget. Sampai-sampai gak bisa mikir.

Oh iya, mumpung ngisi blog ini....


Blog ini tulisannya emang sengaja pake warna orange, mengingatkan bahwa FKIP dan BEM simbolnya warna orange.

I wanna say " Thank a lot" buat teman-teman seperjuangan yang berada diseluruh penjuru kota pontianak atas semua kerja keras dan cucuran keringatnya. So... moga Allah meneguhkan langkah kita untuk lebih banyak berkontribusi buat orang2 di sekitar kita.

Sejujurnya berat banget sih berspisah dari kalian semua, tapi bukankah sunnatullah bahwa kala ada yang datang pasti akan ada yang pergi. Buat bapak2 di BEM FKIP like Pak Presma; Hadidi, Pak Marhadi di PDSM, Pak Imam sang politikus sejati BEM FKIP juga bapak2 lainnya yang gak bisa disebutkan satu persatu. Tak ketinggalan buat Ibu2nya. Bu Yesi di Pos sekretaris, Bu Vita di PSDM, Bu Anita di Bendahara Kabinet, Bu Ros di Dep. Dagri, Bu Siti H di Pos Deplu, Juga beloved sister Bu Kartini di Dep. Respen. Siapa lagi ya??? Pokoknya buat mentri2 di Atas diucapkan banyak2 makasih... Maaf atas segala kehilafan ya... Oh yam baru ingat, buat adik2 panitia setiap event di BEM FKIP, Makasih juga. Maaf kalau BEm FKIP nggak pernah ngebayar semua kerja keras adik2 sekalian. Well, Udah capek ni. Pokoknya BEM FKIP gak akan ada matinya selama ada orang2 kayak kalian. Love U All

Nb: Kapan neler bareng lagi????

Selasa, 17 Juni 2008

Bersyukur...

Bersyukur...
Itu yang lupa ku lakukan hari ini. Padahal siapa aku??? Hanya seorang hamba, toh??
Ku harap Tuhan tak mengganggapku sombong hari ini. Udara telah ku hirup, gratis pula. Makan.. Alhamdulillah cukup untuk hari ini... Juga yang lainnya...
Ah.... Maafkan Aku Allah... aku agaknya tak pantas untuk mengingkari segala nikmat itu

Rabu, 04 Juni 2008


he... he... lama banget gak buka blog. kangen juga sih??? Ni ada foto baru. Baru dijepret maksudnya. Foto bareng BEM-ers and Pak Dekan. Rencananya mau nerbitin buku "Kumpulan opini pengurus BEM". Mudah-mudahan cepet kelar. Doakan ya...

Selasa, 27 Mei 2008

Berawal Dari Keadilan

Nasionalisme dalam konteks keberagaman memang sulit untuk diterjemahkan. Disini, kadangkala kita semua harus berusaha menemukan ikatan dasar dari sebuah nasionalisme. Mencoba mencari titik temu yang dapat menyatukan seluruh elemen berikut komponen bangsa ini. Kemudian yang akan kita lakukan adalah melebur dan menyatukannya dalam satu ikatan kebangsaan. Sebut saja namanya Integrasi.

Kita memang belum punya definisi yang baik tentang konsep nasionalisme. Yang kita tahu mungkin nasionalisme adalah perekat dari keberagaman yang selama kini ada. Baik itu budaya, agama, etnis, suku, juga ideologi. Walaupun pada dasarnya, dari simbolisasi tersebut ada kepentingan yang harus disisihkan dan terkorbankan untuk nasionalisme, untuk integrasi, untuk Indonesia kita. Bila masyarakat yang membawa kepentingan itu sudah tak bersedia berkorban lagi atas nama nasionalisme, maka tunggulah, dan hitunglah usia integrasi kita.

Nasionalisme bagi kita juga adalah kesatuan wilayah, tanah dan tempat tinggal. Bagian daerah manapun yang berada diwilayah yang sama dengan kita, merekalah bagian kita. Lalu akan mengikatnya dalam satu nama besar bangsa di bawah ’payung’ nasionalisme.

Negara-negara yang mengalami transisi menuju demokrasi selalu saja mengalami kendala dalam mempertemukan banyak kepentingan dan menjamin kepentingan itu akan terangkul semuanya. Pun sama halnya dengan menjamin kebijakan akan menyentuh semua elemen yang tergabung tadi. Sehingga kebijakan yang akan diambil adalah kebijakan yang menyeluruh dan tidak parsial.

Nasionalisme, memang bukan masalah yang dapat dikatakan sepele. Karena, pada hakikatnya nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralisme sebagai kontek dan wacana utama. Toh, sejarah telah berbicara banyak tentang kegagalan ’payung nasionalisme’ dalam menyatukan hati dan pikiran rakyat yang cukup melankolik. Yugoslavia dan Unisoviet mungkin merupakan contoh yang baik dari kegagalan nasionalisme sebagai faktor perekat. Kita telah menyaksikan parade keruntuhan bangsa yang relatif besar bahkan sangat besar tersebut. Setelah melalui proses yang panjang, kedua bangsa besar tersebut akhirnya pecah dan berantakan menjadi negara-negara kecil.

Papua dan Aceh merupakan gambaran betapa nasionalisme telah ’gagal’ menjadi perekat simbolik kita, yakni kesatuan tanah sebagai tempat tinggal. Sekarang, pertanyaannya adalah Nasionalisme mana yang layak menyatukan dan mengakomodir semua kepentingan pragmatis manusia negeri ini secara langsung?

Keadilan. Itulah ruh nasionalisme kita. Pun, itu yang seringkali terlupa. Setiap waktu, kita tak lupa bicara tentang nasionalisme, integrasi, dan kesejahteraan. Namun dilain waktu kita tak juga bicara banyak tentang keadilan. Pertanyaannya, nasionalisme model mana yang dapat menghadapi segala benturan-benturan hebat dari keberagaman tanpa dasar keadilan. Kalau tak percaya, coba saja pergi ke Papua atau Aceh, dua bagian dari negara ini yang terlalu lama memendam luka atas konsekuensi sebuah nasionalisme. Benarkah ada hubungan antara tuntutan pemisahan diri mereka dengan penerapan syariat islam? Ataukah ada hak mereka yang terzolimi dan tak dibagikan secara adil?

Pola pemikiran bangsa ini seringkali parsial. Karena alasan itu, kesalahan besar yang dilakukan bukan hanya terletak pada dampak yang ditimbulkan oleh pemikiran parsial tersebut, tapi juga utamanya pada kerapuhan sistem pemikiran kita. Bangsa ini memiliki misi besar – dan menghadapi realitas yang sangat kompleks – tapi kita hanya berfikir sangat sederhana tentang nasionalisme. Bangsa ini sepertinya biasa melakukan penyederhanaan yang berlebihan, atau generalisasi yang salah kaprah tentang nasionalisme. Yang hal tersebut menyebabkan kita tak berlaku adil. Mungkin saja kita hanya mengadopsi model-model nasionalisme, dan pada akhirnya kita sendiri tak tahu harus mengambil nasionalisme yang mana.

Mari kita lihat dan kalkulasikan bersama-sama. Aceh dan Papua adalah dua daerah yang terkenal kaya raya, namun nyatanya harus merelakan hati untuk hidup dalam kepapaan dan kemiskinan. Distribusi kekayaan dan kekuasaan lah yang mengusik rasa keadilan mereka. Versi adil menurut mereka tak jua sama dengan versi pemerintah. Jika ingin kesana dan bicara tentang integrasi dan nasionalisme, tunggulah dulu, karena mereka hanya akan bertanya nasionalisme yang mana? Keadilan yang mana? Dan manfaat apa yang mereka dapatkan dengan bergabung dengan Indonesia? Pun, jika sampai hari ini mereka masih menyatu dalam NKRI, pastilah emosi dan luka lama itu akan menunggu untuk meledak kembali, hingga akhirnya separatisme adalah pilihan terakhir.

Bergerak dalam tataran wacana kesatuan saja tak cukup untuk membantu kita mengembalikan ruh nasionalisme. Mengaburkan perbedaan-perbedaan yang ada pada bangsa ini pun bukan solusi yang baik. Lukisan nasinalisme, persatuan kesatuan yang indah itu harus diterjemahkan secara bijak oleh seorang pemimpin. Pemimpin mana saja. Pemimpinlah yang akan mengapresiasikan nasionalisme secara baik dengan semangat keadilan. Sehingga, kita tak bicara pengorbanan mana lagi yang harus dilakukan untuk nasionalisme, atau siapa lagi yang akan berkorban untuk nasionalisme.

Pada akhirnya, semua masyarakat berharap akan menemukan nasionalisme yang selaras dengan kebutuhan pada masa transisisi bangsa kita, dan karenanya kita dapat menghadirkan nasionalisme pada konteksnya yang tepat, pada ruang sejarah yang tepat, dan dengan cara yang tepat.


** Penulis adalah mahasiswa FKIP Untan, Ka. Bid. PSDM PRIMAKAPON.

(this article has been published on Pontianak Post)







Selasa, 20 Mei 2008

Dilema Subsidi BBM

Oleh: Safriyanti

Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak(BBM) sebagai akibat dari dihapuskannya subsidi BBM, merupakan kebijakan yang sungguh sangat tidak populer. Ironisnya, alasan yang melatarbelakanginya adalah pemerintah menilai subsidi BBM salah sasaran, yang ditambah lagi dengan melambungnya harga minyak dunia yang menyebabkan jebolnya APBN dikarenakan anggaran untuk menyubsidi BBM akan membengkak.

Sebuah situasi yang sangat dilematis memang. Ketika asumsi APBN Perubahan 2008 dipatok melambungnya harga minyak mentah hanya USD 90 per barel. Namun pada kenyataannya di pasar dunia melambung dahsyat hingga USD 126, 98 per barel. Sementara, produksi minyak mentah di Indonesia sendiri pasang surut mulai dari 1999 lalu. Dengan kata lain, produksi minyak mentah di Indonesia tidak mencukupi sehingga mau tidak mau harus mengimpor dari negara lain. Karena harga minyak mentah dunia terus meroket dan status Indonesia adalah pengimport, artinya pemerintah Indonesia harus menambah anggaran dari APBN untuk mensubsidi BBM. Lalu, dibuatlah kebijakan menaikkan harga BBM.

Kenaikan harga BBM pada dasarnya tidaklah adil bagi rakyat. Rakyat siap atau tidak siap dan mau atau tidak mau dipaksa untuk menanggung segala resiko kecerobohan pemerintah dalam mengelola negara. Yang sulit dipahami bila kasus bengkaknya anggaran di APBN menjadi alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Sementara di sisi lain, pemerintah harus mengeluarkan puluhan sampai ratusan triliun untuk menutupi kerugian negara, hutang-hutang Luar Negeri atau ulah para koruptor yang telah menggerogoti uang rakyat.

Pemerintah tentu berbohong, bila mensubsidi BBM, berarti mensubsidi orang kaya yang kebanyakan pemakai BBM. Lalu, dengan dalih menolong rakyat kecil, pemerintah mengiming-imingi rakyat dengan menyuguhkan dana kompensasi berupa BLT. Padahal, pemerintah sedang mengingkari fakta bahwa BBM adalah nyawa masyarakat kecil yang berperan sebagai konsumen dalam perekonomian.

Dimana daya beli masyarakat? Bantuan Tunai 100.000 untuk menolong mempertahankan daya beli masyarakat bagaikan air segelas yang hanya cukup diminum sekali dua kali teguk, atau ibarat penawar derita dalam rentang sehari dua hari. BLT sendiri masih diragukan efektifitasnya untuk mengantisipasi dan meredam dampak kenaikan BBM. Tahun 2005 saja pemerintah belum optimal menyelenggarakan BLT, ditambah lagi dengan tidak validnya data gakin (keluarga miskin, red) yang menerima BLT, sehingga bantuan langsung menjadi tak tepat sasaran.

Kalau pernyataan pemerintah bahwa subsidi BBM menguntungkan orang kaya itu salah besar. Pemerintah benar telah mensubsidi orang kaya tapi tidak lewat BBM, tapi melalui pembayaran bunga obligasi rekapitulasi perbankan yang dalam APBN nominalnya lebih dari 65 triliun. Sedangkan rakyat bukanlah penikmat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Obligasi Rekap Perbankan yang jumlah totalnya 645 triliun lebih, melainkan para konglomerat yang makin kaya menikmati uang rakyat.

Pilihan membayar bunga obigasi rekap daripada mempertahakankan subsidi BBM yang hanya 25 triliun merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa pemerintah lebih memihak konglomerat ketimbang rakyat menengah ke bawah. Belum lagi inefesiensi BUMN dan hutang Luar Negeri yang harus dibayar oleh rakyat. Sedinya lagi, hutang Luar Negeri yang seharusnya dipakai untuk investasi publik, ternyata digunakan untuk investasi pengeluaran rutin (baca; konsumsi) dengan tingkat kebocoran 40% ke kantong-kantong-kantong pribadi pejabat koruptor.

Sulit dimengerti, bagaimana mungkin rakyat dipaksa memikul beban yang sangat berat, dari mulai menghidupi diri sendiri dan keluarga sampai membayar cicilan dan bunga hutang negara yang dalam APBN Perubahan 2008 jumlahnya mencapai 90,73 triliun. Rasanya sangat tidak pantas bila pemerintah saat ini menyatakan subsidi BBM lah yang membebani keuangan negara. Padahal yang seharusnya jadi pertanyaan adalah mengapa pemerintah yang dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral gagal meningkatkan produksi minyak Indonesia? Padahal, kalau pemerintah mau memutar otak lebih keras dan bekerja lebih maksimal, produksi minyak mentah Indonesia yang belakangan hanya 900.000 barel dapat mencapai 1,2 juta barel. Malahan seperti yang dikatakan banyak kalangan, pemerintah malah memberikan banyak keuntungan dari kontrak-kontrak kepada perusahaan-perusahaan asing yang bereksplorasi di Indonesia.

Oleh karena itu banyak pihak (seperti DPD RI) memandang pemerintah kurang sungguh-sunguh menyeleaikan jalan keluar masalah ini hingga sampai mengambil kebijakan menaikkan harga BBM. Padahal, masih banyak jalan keluar lain yang menjadi alternatif dari pada menambah beban penderitaan rakyat. Diantara solusi yang ditawarkan adalah: penghematan pengeluaran negara yaitu belanja Eksekutif dan Legislatif, renegosiasi pembayaran utang Luar Negeri, peningkatan produksi miyak dalam negeri, meningkatkan pajak progresif bagi sektor-sektor industri, penjatahan volume BBM bersubsidi kepada yang berhak dan yang tidak berhak, mengupayakan peningkatan penerimaan negara di sektor migas, diantaranya dengan mengefesienkan biaya produksi migas, menambah penerimaan negara dengan memobilisasi di sektor-sektor yang selama ini hilang dan tidak jelas, baik itu karena dikorupsi atau yang lainnya seperti BUMN, sektor-sektor underground ekonomi, maupun penyimpangan dalam kontrak-kontrak pertambangan, dan segudang alternatif lainnya.

Terlalu menggampangkan apabila persoalan kesejahteraan untuk kemudian dipertukarkan dengan subsidi BBM yang bahkan nilai subsidi itu sepersekian saja dari angka belanja rutin negara. Bisa dipastikan laju pertumbuhan ekonomi akan lambat sebagai dampak iringan kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM tidak diimbangi dengan kenaikan daya beli masyarakat. Kenaikan BBM menyebabkan jasa kesehatan naik 2,33%, jasa pendidikan 2,45%, angkutan 4,31%, komunikasi 1,7% listrik 4,5%, beras 1,1% dan bangunan 3,5%. Inflasi akan tinggi, dan nilai tukar rupiah akan melemah. Sementara lapangan kerja yang menyerap tenaga kerja dari kalangan miskin gakin menurun yaitu sekitar 1-2 % saja.

Untuk itu diharapkan kepada pemerintah untuk lebih sensitif kepada penderitaaan rakyat. Jangan hanya bisa menyengsarakan rakyat. Menaikkah harga BBM saat ini hanya akan menyelamatkan APBN tetapi mungkin tidak akan menyelamatkan perekonomian dan bangsa. Yakinlah, apabila pemerintah tetap bersikukuh menaikkan harga BBM, niscaya akan semakin menambah jumlah penduduk miskin di negeri ini.

** Penulis adalah mahasiswa FKIP UNTAN, bidang Kebijakan Publik KAMMI KOMSAT UNTAN.

Selasa, 13 Mei 2008

BHP ; BUKAN PRODUK COBA-COBA


Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) Untan menimbulkan kontroversi. Berbagai pendapat muncul kepermukaan, mulai dari kalangan dosen, mahasiswa, sampai kalangan luar seperti LSM dan masyarakat.

Begitulah kiranya, kita memang seringkali terkejut dengan kebijakan-kebijakan baru yang dibuat oleh para pengambil keputusan, hingga memacu adrenalin kita untuk protes meski seringkali tanpa tahu isi yang sebenarnya. Ya, kita terbiasa memandang suatu persoalan dari kulitnya saja, tanpa menggali sampai ke akar-akarnya. Hingga pada akhirnya kita meledakkan kemarahan dengan berbagai macam cara, misalnya demonstrasi.

Kita sebenarnya tak layak memandang suatu persoalan secara parsial hingga menyalahkan pihak yang dianggap andil dalam masalah tersebut. Pun demikian halnya dengan dengan masalah BHP Untan. Satu sisi, mahasiswa menyalahkan pihak senat atau rektorat yang dinilai tak transparan soal BHP yang akan diketuk palu. Berikutnya, setelah aksi mahasiwa, giliran rektorat yang menganggap mahasiswa yang kurang etika karena meluapkan kemarahannya dengan kata-kata kotor. Nah, kalau demikian yang terjadi, siapa yang salah sebenarnya?.

Kita tentu sepakat mengacungi jempol bagi mahasiswa yang mencari data secara lengkap terlebih dahulu sebelum melakukan aksi demonstrasi. Kita pun akan sangat apresiasi kepada bapak-ibu pengambil kebijakan apabila konsep dan RUU BHP yang sedang di godok di DPR ini ditransparansikan kepada mahasiswa. Namun, pada kenyatannya ini tidaklah terjadi. Padahal kalau semua punya inisiatif untuk mengkomunikasikan masalah ini, tentu masalahnya tak akan sampai pada tahap adjudikasi mahasiswa yang melakukan demonstrasi pada tanggal 2 Mei lalu.

Penulis memandang wajar bila mahasiswa marah lalu meluapkannya dengan demonstrasi. Karena nantinya merekalah yang akan menjalankan proses perkualiahan. Betapapun, kenyatannya pendidikan dalam “karung” BHP di beberapa Perguruan Tinngi di Indonesia, berdampak pada melonjaknya biaya perkuliahan dengan cara menaikkan biaya per semester. Katakutan itu adalah bumerang. Jika demikian yang terjadi, bisa dipastikan akses pendidikan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi terbatas. Pada akhirnya, Perguruan yang berstatus Badan Hukum akan dihuni anak-anak kelas menengah ke atas, kelas anak-anak “konglomerat.

Sebaliknya, disisi lain, juga pantas rektorat merasa gerah, bila mahasiswa dengan tiba-tiba melakukan demonstrasi tanpa tahu konsep BHP yang sebenarnya. Apalagi kasus yang terjadi belakangan sampai menteror Purek 2 Untan. Sebuah tindakan yang dianggap tidak sopan oleh sebagian besar kalangan Rektorat, mungkin juga kalangan mayarakat, karena yang melakukan ini adalah mahasiswa yang note benenya kalangan terpelajar.

Sebenarnya, privatisasi Untan untuk mandiri dengan berstatus BHP dapat disikapi dengan bijak, tidak menggunakan emosi. Karena hakikat BHP itu sendiri adalah untuk mewujudkan privatisasi Untan sebagai kampus yang professional dan mandiri secara finasial. Ini dapat memacu Untan untuk berbenah, mengejar ketertinggalan dari Perguruan Tinggi Negeri yang lainnya. Dari sebuah diskusi ringan dengan pihak yang berwenang menangani BHP Untan, penulis menyimpulkan bahwa BHP adalah sebuah keharusan bagi semua perguruan Tinngi. Karena dengan status BHP ini, Perguruan Tinggi akan lebih maju, lebih bersaing dengan perguruan Tinggi lainnya, sehingga aset-aset yang ada di Perguruan Tinggi tersebut akan lebih produktif dan berdaya guna.

Jika ada yang mempertanyakan apakah dengan status BHP, pemerintah akan berlepas tangan dari fungsi subsidinya kepada Perguruan Tinggi, jawabnya tidak. Dari diskusi penulis dengan pakar BHP Untan, dinyatakan bahwa Perguruan Tinggi memang akan membiayai sendiri operasionalnya, namun pemerintah tetap mensubsidi Perguruan Tinggi tersebut dari alokasi anggaran pendidikan yang 20 persen. Seperti halnya gaji pegawai dan dosen tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam hal ini tugas Perguruan Tinggi adalah peningkatan SDM Untan diantaranya profesionalisme dosen dalam mengajar melalui pelatihan-pelatihan. Toh ujung-ujungnya mahasiswa juga yang diuntungkan bila dosen mengajar dengan baik. Logikanya, bila hanya mengandalkan subsidi pemerintah untuk membiayai pendidikan, Perguruan Tinggi tak akan maju.

Bila memang terjadi kontroversi beberapa kalangan soal BHP, agaknya perlu dicarikan pertanyaan sekaligus jawaban yang tepat. Dalam hal ini, yang perlu dipertanyakan bukan kenapa Untan harus BHP, tapi sejauh mana kesiapan Untan untuk mandiri dengan status BHP. Kalau pertanyaannya yang pertama jawabannya tentulah ada di UU Pendidikan No. 20 tahun 2003 yang mengatur tentang kewajiban Perguruan Tinggi untuk berstatus BHP. Dan kalau ini yang menjadi masalah, bukan BHP yang harus dikritisi, tapi Undang-Undang SINDIKNAS tersebut. Namun, bila yang ditanyakan pertanyaan nomor 2, ini dirasa cukup beralasan. Karena bila Untan belum siap untuk memegang status BHP, lalu memaksakan diri untuk berstatus BHP seperti PTN lain, ini yang perlu dikritisi. Karena bisa jadi mahasiswa akan menjadi sapi perah untuk membiayai Untan.

Dalam hal ini, siapapun yang mengambil kebijakan tentang BHP Untan nantinya, haruslah mengambil kebijakan dengan sebijak-bijaknya. Kita harus ingat bahwa pendidikan bukanlah komoditi komersialisasi. Jangan hanya memikirkan bagaimana Untan menjadi kampus benefit sementara kantong masyarakat miskin dikuras dengan sekencang-kencangnya. Padahal dalam UUD 1945 telah dinyatakan bahwa salah satu tujuan bangsa ini adalah memberikan pencerdasan kepada seluruh anak bangsa dan bukan kepada sebagian anak bangsa yang mampu membayar pendidikan saja. Kalaupun kemudian disahkan UU No. 20 tahun 2003 tentang kewajiban BHP hendaknya konsep BHP yang maksud dalam pasal-pasalnya tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Karena tidaklah mungkin UUD 1945 yang merupakan dasar hukum tertinggi tunduk dibawah asar hukum di bawahnya.

Solusi dari masalah ini adalah, Untan harus menginventarisir aset-asetnya dan mencari secara jeli sumber daya potensial untuk dikembangkan oleh Universitas. Karena dalam konsep BHP, mahasiswa hanya dibebani 1/3 biaya operasional Perguruan Tinggi. Selain itu, Rektorat berikut pihak yang berwenang menangani BHP ini harus transparan kepada mahasiswa. Sosialisasikan RUU BHP, kalau perlu buat forum terbuka menghadirkan diknas, rektorat dan elemen yang berwenang untuk mengclearkan masalah ini. Jangan sampai BHP menjadi produk coba-coba di Untan yang akhirnya merugikan dan mengeksploitasi mahasiswa. Semoga dengan ini tidak akan ada lagi miskomunikasi dan misinterpretasi.

**Penulis adalah mahasiswa FKIP Untan, Bidang Kebijakan Publik KAMMI Komisariat UNTAN, anggota PRIMAKAPON.

Jumat, 18 April 2008

It's just a simple thing guys!

Apakah kau pernah menangis dengan cara tertawa? atau sebaliknya tertawa dengan cara menangis. Yah... Ku pikir itu hebat. Lalu akupun mencobanya beberapa kali. Nyaris saja aku merasa tak yakin bahwa aku dapat melakukannya.

Pernahkah kau bertanya bagaimana Tuhan membuat skenario mengejutkan dalam hidupmu? Padahal kau rasa itu sangat sulit untuk kau lakoni. Atau Pernahkah kau menguhajatnya karena ia telah menghendaki lain atas dirimu? Life is ironycally funnny guys....

Suatu kali, aku pernah berpikir bahwa aku akan menjadi orang yang biasa saja. Menjalani hidup seperti adanya, seperti mereka. Masa kanak-kanak, sekolah, kuliah, mencari penghidupan yang layak, kemudian menikah. it's so simple, right? Tapi nyatanya, Tuhan punya kehendak lain.

Kadang aku sendiri kewalahan menjalani "takdir" hidup dari-Nya. Kadang tertatih, jatuh dan mencoba bangun perlahan. Ups... 2x aku jatuh lagi tapi lagi-lagi aku mencoba berdiri dengan lebih kokoh. Tak mudah, sangat tidak mudah kawan. Berulang kali mendulang kecewa, berulang kali ditinggalkan, berulangkali membesarkan hati.

But, it's okay. If He want me like this, What can I do? It may be a simple thing for HIM.
Hanya mencoba menjalaninya dengan sedikit Iman, juga sebait ke-tsiqohan pada ketentuan-Nya mungkin itu lebih baik.


"When I'm fallen alone..."

Kamis, 27 Maret 2008

Antara Pengenalan Kampus dan Penjajahan Intelektual

Oleh : Safriyanti

Surprise! Ketika seorang siswa lulusan SMA yang telah mengikuti proses pendaftaran UMPTN yang sekarang di ganti dengan SPMB dan segenap proses pendaftaran di nyatakan lulus masuk ke universitas, yang hal itu berarti pula berubahnya status mereka dari siswa menjadi mahasiswa. Namun, tidak sampai di situ saja, yang pastinya akan ada proses demi proses yang harus di lalui kembali mulai dari pendaftaran ulang sampai satu babak yang bila mendengarnya maka akan terbayanglah proses-proses ‘menyeramkan’ yaitu Orientasi Study dan Pengenalan Kampus atau yang lebih sering di dengar dengan istilah OSPEK.
Kampus adalah hutan belantara! Kalimat yang sepertinya menjadi alasan tepat untuk penyelenggaraan kegitan ritual tahunan ini. Yang bila kita tidak mengetahui jalannya maka kita akan tersesat. Maka sebelum seorang masuk kehutan hendaklah ia terlebih dahulu di kenalkan pada kondisi atau keadaan hutan tersebut. Bila kampus di analogikan dengan hutan, maka sebelum mahasiswa baru lebih jauh masuk ke dalam kampus, maka ia harus terlebih dahulu kenal dengan kondisi kampus tempat nantinya proses belajar di lakukan.
OSPEK, apapun namanya kini, tetap saja muatannya orientasi yang bila di terjemahkan bentuknya adalah pengenalan kampus. Tentu saja yang di sebut sebagai pengenalan adalah proses memberitahukan atau menginformasikan kepada mahasiswa baru hal-hal yang berkenaan dengan kampus baik itu tata letak kampus, perkuliahan, administrasi akademis sampai keorganisasian mahasiswa, bukan yang lainnya. Bilapun ada tentu tak lari dari fungsi kemahasiswaan dan proses perkuliahan.
Namun, entah mengapa proses pengenalan ini dari dulu hingga sekarang terkesan cofy paste. Betapa tidak, junior yang nota bene nya peserta pada tahun kemaren dan merasa tertindas hak-haknya, tak elak lagi akan melakukan hal yang serupa ketika menjadi senior dengan nota bene nya panitia. Sehingga proses yang seharusnya berbasiskan adaptasi dan sosialisasi mahasiswa baru tentang kampus menjadi ‘moment balas dendam’ dan penjajahan intelektual terhadap mahasiswa baru, yang dari tahun ke tahun terus berlanjut.
Suara miring tentang OSPEK ini semakin lama semakin keras seiring dengan turus jatuhnya korban. Dan sudah bukan rahasia lagi bahwasanya OSPEK yang di laksanakan seringkali di salahgunakan bahkan di tepatgunakan sebagai acara perpeloncoan yang sebenarnya sangat jauh dari tujuan kependidikan.
Berdasarkan pengalaman ketika menjadi panitia OSPEK, menurut penulis, OSPEK dalam bentuk kegiatan fisik yang di warnai dengan aksi penindasan mental, penjajahan hak dan kekerasan dengan alasan melatih mental peserta ini, lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Karena selain lari dari konsepnya yaitu ‘orientasi’ OSPEK juga mencerminkan prilaku primitif dalam tradisi intelektual. Bukti nyata adalah kurang lebih satu pekan mahasiswa baru di wajibkan hadir lengkap dengan pakaian dan atribut yang telah di tetapkan oleh panitia yang nyatanya di lapangan tidak terlalu diperlukan bahkan ‘merepotkan’ peserta. Padahal sebaliknya di perkuliahan mahasiswa di haruskan berpakaian rapi dan sopan. Jadi, jelas tidak edukatif.
Agak lucu rasanya, kampus yang merupakan institusi pendidikan yang seharusnya memberikan pencerahan logika dan mempelopori gerakan anti kekerasan dengan menghapus sistem perpeloncoan malah memberi peluang terjadinya akses-akses kekerasan melalui OSPEK. Lalu di mana akan di letakkan prinsip-prinsip intelektualitas bila kegiatan pengojolokan yang merupakan warisan kolonial yang penuh nilai-nilai kesewenangan dan ketidak beradaban justru terjadi dalam dunia kependidikan berbasis kampus, tempat di mana manusia di tempa menjadi beradab. Hasilnya? Tentu saja generasi yang di hasilkan kampus adalah generasi penindas, yang tidak bermoral atau generasi hasil penindasan, yang tidak tidak percaya diri dan tidak berdaya saing.
Memanusiakan manusia, memahasiswakan mahasiswa dengan mengembangkan daya kritis, ilmiah dan religius pada diri Mahasiswa yang merupakan sumber daya bangsa masa depan (iron stock). Itu yang jarang di sentuh pada OSPEK mahasiswa kini.
Tulisan ini tidak bermaksud menentang kegiatan Orientasi Study dan Pengenalan Kampus (OSPEK) karena pada dasarnya penulis sepakat bila OSPEK tetap di laksanakan. Karena tidak dapat di pungkiri ada sisi-sisi positif dari kegiatan ini. Tetapi bukankan kegiatan ini dapat di lakukan dengan cara-cara friendly dan lebih humanis bukannya mematikan daya kritis mahasiswa baru. Selain itu, yang harus di garis bawahi adalah bagaimana melakukan pencerahan kembali pada OSPEK dengan mengembalikan secara benar etika, wacana dan prinsip-prinsip kemahasiswaan dan kependidikan. Karena kita semua tentu sepakat bila proses awal yang benar tentu akan menghasilkan akhir yang benar pula yang mana proses itu di laksanakan dengan manajemen yang jelas dan rapi serta sikap yang bijaksana, penuh keteladanan dari para panitia.


*Penulis adalah Mahasiswa Bahasa Inggris FKIP Untan, Ketua Bidang PSDM ESA
" this article has been published in Pontianak Post on September 2006"



#artikel pertama kali terbit d koran

Senin, 28 Januari 2008

In My Muhasabah

Come to think of it
Life is ironically funny.
I slammed the door at your face,
But my nose got hit instead.
I kicked you out of my life,
But I was the one who felt rejected.
I ripped your heart,
But I was the one who lived with the pain.
I killed you,
But I was the one who died.
I wanted nothing to do with you,
But here I am, waiting 4 u to come back.
I didn’t want to love you,
But now I’m looking back over my shoulder
Wishing that I could turn back the time…
FILOSOFI ANGKA 7

Besok, 7 september adalah hari lahirku.
7, angka yang sangat aku suka. Bukan semata karena ia angka lahirku tapi lebih dari itu. Ia adalah angka sederhana dan sangat mudah membuatnya. Meskipun demikian ia berdiri sangat kokoh hanya dengan 1 kakinya untuk menopang satu garis lurus.
Aku ingin menjadi seperti angka lahirku itu. Menjadi sosok yang sederhana, namun cerdas dan cemerlang, berdiri di atas kekokohan, memiliki ketahanan emosional dan kemandirian... tak bergantung dengan orang lain.
:: Ditulis ulang dari catatan harian, Pontianak 6 September 2007
1 hari menjelang hari lahirku
Selasa, 2007 November 06

this is the first joint
This is my first joint in this blog. so… gak muluk2 sih harapannya semoga blog ini bisa jadi tempat sharenya my feeling, my thingking and also for the friends who visit this blog. ya… thank banyak buat teman koe Yudi K yang udah minjemin bukunya hingga blog ini ada. walaupun sebenarnya agak ragu juga takut blog ini hanya akan jadi “sampah”. tapi… nyoba aja deh! modal PD aza… Ya, buat yang nanti ngunjungi blog ini makasih aja deh? salam kenal dari antie
Diposting oleh antie di 01:22 0 komentar
Berlangganan: Posting (Atom)

Selasa, 15 Januari 2008

LAPORAN PERTANGGUNG JAWABAN
BIDANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA (PSDM)
PERHIMPUNAN MAHASISWA KABUPATEN PONTIANAK(PRIMAKAPON)
PERIODE 2007-2008
Disampaikan Pada Mubes PRIMAKAPON (9 Januari 2008)

Pengantar
“Mencoba selalu memiliki resiko gagal. Namun orang yang tidak berani menanggung resiko apapun, tak akan berbuat apa-apa dan bukan apa-apa.”

Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam perjuangan !

Yang terhormat, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Kabupaten Pontianak.
Yang terhormat, Badan Pengarah dan Badan Penasehat,
Yang terhormat, para senior PRIMAKAPON.
Yang terhormat, jajaran pengurus PRIMAKAPON.
Yang kami banggakan, teman-teman seperjuangan di PRIMAKAPON.

Setinggi-tinggi kesyukuran mari kita panjatkan kepada Dzat yang menciptakan langit tanpa tiang dan sampai dengan detik ini langit tersebut tetap berdiri kokoh tanpa mengalami keretakan dan keruntuhan sedikitpun, yang Maha Perkasa tetapi tetap Maha Penyayang kepada makhluk ciptan-Nya semisal ikan yang berada dijenis air manapun saat ini dan dari spesies manapun tetap bisa berenang dan makan tanpa kita selaku manusia menebebar atau membagi-bagikan makanan dilaut dan di samudera.

Satu periode kepengurusan telah dilalui oleh teman-teman pengurus PRIMAKAPON. Tak terasa, satu tahun perjalanan juga telah ditapaki. Pahit manis perjuangan telah dirasakan bersama. Hingga pada akhirnya waktu itu pula yang menghendaki bahwa setiap ada perbuatan atau pekerjaan, maka harus dipertanggung jawabkan. Sesuai dengan amanat Mubes terdahulu, maka sudah suatu kewajiban pengurus PRIMAKAPON untuk menyampaikan Laporan Pertanggung jawaban kepada kawan-kawan PRIMAKAPON dalam MUBES ini guna mengevaluasi dan menentukan proyeksi kerja PRIMAKAPON ke depan. Meskipun kami sadar, kami hanya manusia biasa yang penuh kealpaan. Sehingga dalam menja
lankan roda kepengurusan, masih sangat jauh dari kesempurnaan, masih banyak masalah-masalah kepengurusan PRIMAKAPON yang belum bisa kami selesaikan, sehingga kami merasa belum bisa memberikan yang terbaik bagi kawan-kawan semuanya.
Kami berharap forum ini dapat memberikan kritik, saran, pendapat, dan masukan agar dengan segala kekurangan-kekurangan yang ada dapat menjadi evaluasi tersendiri bagi kami dan akan menjadi PR kerja-kerja besar priode kepengurusan berikutnya. Kami juga menyadari bahwa forum ini bukanlah satu-satunya forum pertanggungjawaban, karena di luar ini masih ada forum berikutnya yang juga menanti pertanggung jawaban yang sesungguhnya, yaitu di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
A. Pendahuluan

Dari waktu ke waktu, perubahan selalu dimulai dengan hadirnya generasi baru. Tak salah bila kita katakan bahwa generasi adalah pilar yang akan meneruskan perjuangan dan perjalanan roda kepemimpinan di masa yang akan datang. Apakah hasil yang didapat akan lebih baik atau semakin terpuruk, sangat tergantung dengan bagaimana cara mempersiapkan generasi tersebut. Oleh karena itu, pengkaderan adalah suatu keniscayaan yang dilakukan dalam rangka membina, membentuk, mempersiapkan dan memberdayakan generasi guna melanjutkan eksistensi organisasi.
Yang perlu dipahami bersama adalah bahwa proses kaderisasi bukanlah sebuah ”proses instant” atau dengan kata lain kaderisasi memerlukan waktu yang bisa jadi cukup panjang dan proses yang berkesinambungan. Oleh karena itu, analogi bahwa kaderisasi adalah jantungnya organisi sangatlah tepat. Karena jantung merupakan organ yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan. Logika terbaliknya, apabila jantung organisasi yang dalam hal ini kaderisasi tidak berjalan maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi, yaitu kemandegan dan kemunduran organisasi.
Disilah peran strategis kaderisasi dimainkan oleh bidang PSDM. Namun dihadapan sidang Mubes yang terhormat kami sampaikan maaf yang sebesar-besarnya bila harapan yang dititipkan kepada kami tidak dapat terealisasikan secara sempurna mengingat segala keterbatasan yang kami miliki.

B. Kondisi Objektif

Pada awalnya, bidang PSDM terdiri dari 3 orang personel. Yaitu Safriyanti, Eka Yulia N, dan Deni Achmad. Namun dikarenakan kekosongan di Bidang Infokom, maka di dalam sidang pleno 1, pengurus mengambil kebijakan untuk meresuffle beberapa orang pengurus yang diantaranya Sdr. Eka Yulia Narsih yang direposisikan di bidang Infokom untuk menyokong ekisistensi bidang tersebut. Pada akhirnya Bidang PSDM sendiri kebagian 1 personel baru yaitu Sdr. Syf. Dewi Juanti untuk menggantikan personel yang di resuffle tersebut.
Kami akui secara
jujur bahwa pada kepengurusan kali ini tidaklah menunjukkan peningkatan yang significant dari masa sebelumnya. Pernyataan ini dibuktikan dengan banyaknya agenda kerja yang tidak dilaksanakan sesuai dengan amanah kepengurusan. Meskipun pada awalnya program kerja yang disusun sangatlah baik, tapi yang terjadi akhirnya program kerja tersebut tidak terlaksana sedangkan program kerja yang terlaksana malah kebanyakan di luar agenda PSDM.
Pada awal kepengurusan, semangat untuk berbuat yang terbaik bagi PRIMAKAPON sangatlah besar. Namun seiring waktu, dikarenakan banyaknya
masalah yang dihadapi internal PRIMAKAPON itu sendiri, menjadikan Fighting Spirit PSDM pun mulai melemah. Utamanya masalah budget atau dana yang seringkali memutuskan harapan kawan-kawan PSDM untuk melaksanakan agenda yang telah dibuat.
Namun, dengan sedikit semangat yang tersisa, kami perlahan bangkit dan beranjak dari masalah internal tersebut. Bidang PSDM pun tidak ingin terjebak dalam masalah internal lainnya yaitu melemahnya spirit perjuangan. Meskipun dengan tertatih-tatih hingga akhir kepengurusan, agenda tetap berjalan dengan strategi memproritaskan agenda.

C. Rencana Program Kerja

Sebagaimana yang tertera dalam GBHK PRIMAKAPON, peran PSDM PRIMAKAPON adalah : Merekrut anggota aktif, membina dan meningkatkan wacana-wacana keilmuan profesionalisme dan kreatifitas mahasiswa Kabupaten Pontianak. Berdasarkan amanah tersebut maka lebih khusus bidang Sumber Daya Manusia membuat program kerja sebagai berikut:

1. Up-Grading Pengurus
2. Try Out SPMB
3. Rekrutmen Anggota Baru
4. Diskusi Intensif
5. Sensasi Anak Daerah (SENADA)
6. Pelatihan Karya Tulis Ilmiah
7. Lomba Artikel Ilmiah

D. Realisasi Program Kerja

1. Up Grading Pengurus

Program ini terlaksana pada awak kepengurusan yaitu bulan Februari 2007 dengan pemateri Viryan Aziz, SE.
2. Rekrutmen Anggota Baru
Terlaksana sebanyak 1 kali selama masa kepengurusan pada Bulan Oktober yang dibarengi dengan Buka Puasa Bersama anggota PRIMAKAPON.

Program Kerja yang terlaksana di luar planning:

1. Bedah Film pergerakan ”Tragedi Semanggi ’98”
Terlaksana di Aula Asrama Kabupaten Pontianak pada bulan Juli.
2. Seminar ESQ
Terlaksana pada bulan Desember di Aula Asrama Putra Kabupaten Pontianak. Jumlah peserta kurang lebih 90 orang.
3. Seminar dan Lokakarya (SEMILOKA) Sertifikasi Guru
Dilaksanakan di gedung kartini Kota Mempawah pada Tanggal 15 Desember 2007. Adapun jumlah peserta pada kegiatan tersebut sebanyak 89 orang.
4. Buka Puasa Bersama Bupati Pontianak.
Dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 di Asrama Kabupaten Pontianak
5. Kajian Sertifikasi Guru, Pra Seminar Semiloka Sertifikasi Guru
Dilaksanakan pada bulan Desember 2007 di Aula Asrama Kabupaten Pontianak dengan pemateri Drs. Sofyan, M.Pd.
6. Tutorial
Dilaksanakan dalam rangka pembianaan pasca rekrutmen PRIMAKAPON dengan 3 tahapan. Hingga kepengurusan berakhir, pengurus belum menyelesaikan tahapan pertama karena terkendala yang ada di kelompok tutorial itu sendiri. Untuk selanjutnya PSDM akan menyelesaikan materi yang belum disampaikan oleh tutor pada tahap ini dalam bentuk SG yang diisi sendiri oleh tutor yang ditunjuk. Adapun untuk tutorial selanjutnya akan dilimpahkan kepada PSDM PRIMAKAPON periode berikutnya.

Program Kerja Yang Tidak Terlaksana

1. SENADA
Tidak terlaksanakan karena masalah dana dan pada saat yang sama agenda acara yang terangkai dalam SENADA juga akan dilaksanakan oleh Diknas.
2. Diskusi Intensif
Pernah akan dilaksanakan 1 kali, namun pada hari H, tidak ada personel yang meng-handle acara sehingga peserta bubar. Selain itu, padatnya acara di Asrama juga menjadi kendala PSDM Untuk mencari waktu yang tepat, apalagi diskusi ini sifatnya intensif.
3. Try Out SPMB
Keterlambatan dalam mengakses informasi disekolah menjadi alasan tidak terlaksananya program ini. Akibatnya PRIMAKAPON kehilangan momentum, sementara SPMB telah di depan mata. Meskipun demikian, tujuan sesungguhnya program ini yaitu mengenalkan PRIMAKAPON kepada siswa SMA yang akan ke Perguruan Tinggi tercapai karena tercover dalam agenda PRIMAKAPON Goes To School yang dalam agenda tersebut juga bertujuan memberikan informasi tentang PRIMAKAPON dan Asrama.
4. Lomba Artikel Ilmiah
Agenda ini direncanakan akan dimasukkan dalam agenda acara SENADA, namun karena SENADA tidak terlaksana, maka agenda ini pun tidak terlaksana.
5. Pelatihan KTI
Kendala teknis menjadi kendala tidak terlaksananya agenda ini. PSDM telah menjalin kerjasaman dengan Borneo Tribune untuk mengadakan Pelatihan KTI, namun karena crew Borneo Tribene sendiri sibuk dengan moment pilkada saat itu, maka tidak sempat memberikan pelatihan.

E. Evaluasi dan Proyeksi
PRIMAKAPON adalah ”Rumah Bersama”, tempat kita mulai belajar berjalan, kemudian bermimpi, bercita-cita, dan membangun komitmen. Namun Komitmen bersama untuk mewujudkan perubahan tentu tidak akan pernah tuntas disebabkan berbagai kekurangan sang penghuni rumah. Banyak hal yang mulai terasa berubah di Rumah kita
tercinta ini. Pilihan untuk menentukan arah perubahan mulai berbeda-beda. Akhirnya, interaksi kita sang penghuni mulai kosong dan kehilangan makna. Entah kita merasakan atau tidak, bahwa rapat-rapat kita tak lagi semarak seperti dulu. Yang hadir pun wajah-wajah baru. Begitupun dengan agenda PRIMAKAPON yang kemudian berakhir dengan tragis, karena hanya didatangi oleh beberapa orang. Yang perlu dipertanyakan adalah jika kita tak merasakan hal ini, yang berarti pula sensitifitas kita yang mulai hilang.
Semoga kepengurusan tahun berikutnya menyadari masalah internal yang terjadi di PRIMAKAPON ini. Bukan bermaksud ingin menyibukkan diri dengan masalah internal belaka, namun kita tak akan pernah dapat wemujudkan kerja-kebaikan ini bila personel yang ada di sekitar struktural bermasalah.
Adapun rekomendasi untuk PSDM selanjutnya adalah:
1. Melanjutkan agenda Tutorial tahap 2 untuk anggota PRIMAKAPON.
2. Membagi Kerja PSDM dalam beberapa Divisi, yaitu divisi Kaderisasi, dan Divisi Pelatihan.
3. Membuat format Rekrutmen secara berjenjang.
4. Membuat Buku Panduan Kaderisasi.

F. Penutup

Sehebat-hebat manusia tetap memerlukan orang lain. Walau disanjung-sanjung setinggi langit, diagung-agungkan setinggi gunung tetap saja tidak ada apa-apanya tanpa orang lain. Bagaimanapun manusia tidak dapat hidup sendiri (teori Zoon Politicon).
Diakhir kepengurusan ini, Bidang PSDM mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada setiap elemen yang membantu kinerja PSDM. Kepada Pak We Khairul yang tetap memberikan semangat untuk PSDM agar tetap bergerak, untuk para pengurus, untuk BP yang respon terhadap masalah kepengurusan, untuk para panitia kegiatan, dan untuk anggota yang telah bersedia mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan biaya untuk membantu kinerja kepengurusan kali ini.. Untuk segala kelebihan dan kekurangan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya Semoga PSDM Tahun mendatang lebih baik kinerjanya dari yang kami berikan saat ini.

Pontianak, 09 januari 2008

SDM Bidang :
Safriyanti (Ketua Bidang)
Deni Achmad (Sekretaris)
Syf. Dewi Juanti (Anggota)
JUDUL KITA APA?

Mungkin kita hanya sekedar makin sering terlambat.
Mungkin juga sekedar sering lupa. Atau cuma sedikit bertambah lalai.
Atau mungkin cuma sekedar semakin enteng untuk terlibat.
Bisa juga semacam ketenangan dalam kealpaan.
Dan tentu kita tidak menyebutnya sebagai futur…

Bisa jadi kita Cuma semakin malas.
Di mana denganna dalih kita semakin banyak dan bervariasi.
Ayau kita semacam sedikit pilih-pilih tugas,
Agak ada banyak tugas yang kita rasa tidak pantas lagi kita kerjakan.
Dan kita tidak juga menyebutnya sebagai futur…

Mungkin kita hanya terganggu.
Kita hanay sedikit agak terganggu dalam tilawah, atau dalam puasa atau mungkin lainnya.
Sebenarnya tidak berat, Cuma sekedar agak sulit menikmatinya.
Dan kita memang sulit mendefinisikannya sebagai futur…

Kita mungkin Cuma semacam bosan.
Atau sekedar ingin melongokkan kepala ke luar sana.
Atau kita Cuma kaget kecil-kecilan.
Atau sekedar silau.
Atau bahkan sedikit lebih ringan dari pada it.
Dan sulit bagi kita menyebutnya futur…

Atau kita Cuma sedkit tersadarkan,
Pada realitas keluarga kita.
Rumah dan kendaraan kita.
Sedikit tersadar akan relaitas karir kita.
Atau sedikit menghitung-hitung realitas sosial kita.
Dan tentu saja itu bukan futur…

Bisa juga kita Cuma melihat tekungan sejarah.
Ada yang berbeda di depan sana.
Dan kita semacam sedang sedikit membuat apresiasi.
Atau paling tidak semacam antisipasi.
Tidak lebih dari itu.
Mungkin juga itu bukan futur…

Senin, 14 Januari 2008

Menyoal Kekerasan Terhadap Anak Di Sekolah


Oleh : Safriyanti*


“Non schole le sed discimus”, sebuah pepatah Yunani yang apabila diartikan secara bebas bahwa sekolah tujuannya bukan untuk mencari skor atau angka-anggka tapi sekolah itu untuk belajar untuk kehidupan bahkan hidup itu sendiri. Kata sekolah itu sendiri, pada dasarnya berasal dari kata skhole, schole atau schola yang bermakana waktu luang atau waktu senggang. Dahulunya, orang-orang Yunani biasa menitipkan anak-anak mereka kepada orang-orang yang dianggap pandai untuk diajari ilmu pengetahuan dan dididik tentang filsafat, ilmu alam, dan sejenisnya. Pada zaman itu, sekolah dipandang sebagai suatu aktifitas yang menyenangkan juga mengasyikkan bagi siswa.

Mencoba membandingkan kondisi persekolahan saat ini. Tak jarang sekolah masih dianggap sebagai beban berat yang menghimpit anak. Sedangkan aktifitas di luar jam pelajaran justru menyenangkan oleh sebagian anak. Adapun di dalam jam pelajaran dianggap membosankan dan membebani. Menurut pengamatan penulis, jika siswa berada di kelas, maka ingin segera mendengar bel istirahat dan keluar kelas secepatnya. Dan jika ada pengumuman pulang lebih awal atau libur, mereka gembiranya bukan kepalang, bersorak sorai, seperti terlepas dari sebuah beban psikologi yang berat dan menghimpit. Hal ini juga seperti yang penulis rasakan saat menjadi siswa bahkan hingga saat telah menjadi “mahasiswa”. Sekolah maupun kampus sama-sama dirasakan sebagai tempat yang membosankan. Keduanya tak lagi menjadi tempat yang nyaman dan diidam-idamkan seperti ketika pertama kali mendaftar.

Seperti halnya yang diberitakan beberapa waktu lalu dikoran lokal ini dalam sebuah editorial, bahwasanya hasil penelitian di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di sekolah sebagian besar dilakukan oleh guru. Hal tersebut bukan berbentuk kekerasan fisik, namun berupa kekerasan non fisik seperti halnya pemberian tugas berlebihan, memaksa anak untuk berkompetisi secara berlebihan dengan memberikan target prestasi yang terlalu tinggi, dan tak jarang memaksa anak harus menguasai mata pelajaran tertentu di luar minatnya, hingga mematikan kreatifitas anak.

Guru masih dianggap sentral dalam pendidikan kita. Oleh karena itu, berbagai kritikan kerap kali ditujukan terhadap guru. Seharusnya hal tersebut menjadi titik tolak untuk mengevaluasi pendidikan yang telah mereka laksanakan di kelas. Karena secara umum, guru lebih tepat disebut melaksanakan mengajar saja dibanding mendidik. Mengajar itupun masih dengan metode tradisional dan konservatif. Akibatnya seringkali otak siswa dijejali dengan berbagai pengetahuan sekehendak hati sang guru dan sekehendak kurikulum dengan dalih siswa harus mendapat nilai tinggi dan lulus Unas. Sementara siswa tak diberi kesempatan berfikir, mencerna, bereksplorasi, apalagi berkreasi.

Wajar kiranya, bila dikatakan bahwa kekerasan di sekolah kebanyakan dilakukan oleh guru. Karena sekolah menyenangkan seperti ketika orang Yunani rasakan dahulu, tidak dirasakan oleh anak-anak di sekolah kita. Di saat guru masuk kelas, yang akan nampak adalah para peserta didik tidak bersemangat, sayu, raganya nampak tetapi pandangannya kosong. Ada lagi yang lainnya sibuk kirim-kirim SMS, baca komik, atau tidur. bisa dibayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, jika guru bertanya apakah ada pertanyaan, maka serentak siswa menggeleng atau diam. Seperti itulah setiap harinya yang terjadi disekolah kita. Namun sayangnya tak banyak guru yang mampu menganalisis kondisi tersebut dan membiarkan kondisi berlarut-larut. Anak didik kita tak merasakan kenyamanan dan kesenangan sepertihalnya yang dirasakan oleh anak-anak Yunani dahulu, sekolah yang menyenangkan dan mengasyikkan di waklu luang, yang ada malah kekerasan non fisik belaka, perasaan tertekan, dan pemaksaan kehendak.

Penulis tak sepenuhnya menyalahkan guru, karena dalam hal ini guru bukanlah satu-satunya agent yang menyelenggarakan pendidikan, karena bagaimanapun guru sering kali harus patuh pada sistem. Dalam sebuah jurnal diceritakan, pernah suatu ketika seorang guru asing mengunjungi sebuah Sekolah Dasar di sebuah negara Asia, yang pada saat itu di sebuah kelas sedang ada pelajaran menggambar. Guru asing melihat ada 60 siswa dikelas itu sedang menggambar kucing seperti yang digambarkan oleh guru mereka di papan tulis. Dengan susah payah siswa meniru apa yang terlihat di papan tulis. Hasilnya, ada 60 gambar kucing yang persis dengan gambar sang guru seni di papan tulis tersebut. Betapa terkejutnya guru asing tersebut, karena di negaranya Eropa, metode yang diajarkan sangat berbeda dengan yang ada di Asia. Di sana, siswa diberikan kebebasan untuk menggambar apa saja, tidak pernah ditemukan guru yang mencontohkan cara menggambar kucing di papan tulis. Hasilnya di ruang kelas tersebut penuh dengan beraneka ragam gambar yang berbeda dengan satu yang lainnya sesuai dengan keinginan dan kreasi siswa. Begitulah cermin pendididikan kita, anak yang memiliki potensi, minat dan kapasitas yang berbeda dipaksa memiliki kemampuan yang sama.

Bila bicara soal sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia, dengan kurikulum yang padat dan kebijakan Unas yang meninggalkan masalah, jelas sudah betapa sistem pendidikan kita telah mengeksploitasi anak didik.. Lewat Unas yang katanya bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan, siswa diharuskan lulus dalam tiga mata pelajaran yang barangkali mereka tak memiliki kemampuan di bidang itu. Konsekuensinya, anak harus pontang panting belajar sesuatu di luar minatnya.

Perlu disadari, anak memiliki bakat, kemampuan, minat dan kapasitas yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mereka tidak dapat dipaksa menjadi jelmaan seperti yang dinginkan oleh guru atau orang tua mereka. Guru maupun orang tua boleh-boleh saja punya obsesi pribadi yang dibebankan dipundak mereka demi masa depan mereka, namun pilihan tetap ada di tangan mereka, karena mereka jauh lebih tahu potensi dan kemampuan mereka sendiri. Oleh karena itu, anak seharusnya diarahkan untuk menjadi diri mereka sendiri dan dimotivasi untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki, hingga ketika dewasa mereka tak akan tunduk dan patuh pada siapapun atau menjadi kuli siapapun yang memiliki obsesi atau kepentingan pribadi. Semoga guru yang merupakan orang tua siswa di sekolah dapat menjalankan fungsinya sebagai tenaga pendidik dan bukan sebagai penindas intelektual siswa.

*) Penulis adalah Mahasiswa FKIP Untan, Wakil Presiden Mahasiswa BEM FKIP Untan aktif di kepengurusan PRIMAKAPON.

Di publikasikan di Pontianak Post di kolom opini pada bulan Desember 2007