RSS

Selasa, 20 Mei 2008

Dilema Subsidi BBM

Oleh: Safriyanti

Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak(BBM) sebagai akibat dari dihapuskannya subsidi BBM, merupakan kebijakan yang sungguh sangat tidak populer. Ironisnya, alasan yang melatarbelakanginya adalah pemerintah menilai subsidi BBM salah sasaran, yang ditambah lagi dengan melambungnya harga minyak dunia yang menyebabkan jebolnya APBN dikarenakan anggaran untuk menyubsidi BBM akan membengkak.

Sebuah situasi yang sangat dilematis memang. Ketika asumsi APBN Perubahan 2008 dipatok melambungnya harga minyak mentah hanya USD 90 per barel. Namun pada kenyataannya di pasar dunia melambung dahsyat hingga USD 126, 98 per barel. Sementara, produksi minyak mentah di Indonesia sendiri pasang surut mulai dari 1999 lalu. Dengan kata lain, produksi minyak mentah di Indonesia tidak mencukupi sehingga mau tidak mau harus mengimpor dari negara lain. Karena harga minyak mentah dunia terus meroket dan status Indonesia adalah pengimport, artinya pemerintah Indonesia harus menambah anggaran dari APBN untuk mensubsidi BBM. Lalu, dibuatlah kebijakan menaikkan harga BBM.

Kenaikan harga BBM pada dasarnya tidaklah adil bagi rakyat. Rakyat siap atau tidak siap dan mau atau tidak mau dipaksa untuk menanggung segala resiko kecerobohan pemerintah dalam mengelola negara. Yang sulit dipahami bila kasus bengkaknya anggaran di APBN menjadi alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Sementara di sisi lain, pemerintah harus mengeluarkan puluhan sampai ratusan triliun untuk menutupi kerugian negara, hutang-hutang Luar Negeri atau ulah para koruptor yang telah menggerogoti uang rakyat.

Pemerintah tentu berbohong, bila mensubsidi BBM, berarti mensubsidi orang kaya yang kebanyakan pemakai BBM. Lalu, dengan dalih menolong rakyat kecil, pemerintah mengiming-imingi rakyat dengan menyuguhkan dana kompensasi berupa BLT. Padahal, pemerintah sedang mengingkari fakta bahwa BBM adalah nyawa masyarakat kecil yang berperan sebagai konsumen dalam perekonomian.

Dimana daya beli masyarakat? Bantuan Tunai 100.000 untuk menolong mempertahankan daya beli masyarakat bagaikan air segelas yang hanya cukup diminum sekali dua kali teguk, atau ibarat penawar derita dalam rentang sehari dua hari. BLT sendiri masih diragukan efektifitasnya untuk mengantisipasi dan meredam dampak kenaikan BBM. Tahun 2005 saja pemerintah belum optimal menyelenggarakan BLT, ditambah lagi dengan tidak validnya data gakin (keluarga miskin, red) yang menerima BLT, sehingga bantuan langsung menjadi tak tepat sasaran.

Kalau pernyataan pemerintah bahwa subsidi BBM menguntungkan orang kaya itu salah besar. Pemerintah benar telah mensubsidi orang kaya tapi tidak lewat BBM, tapi melalui pembayaran bunga obligasi rekapitulasi perbankan yang dalam APBN nominalnya lebih dari 65 triliun. Sedangkan rakyat bukanlah penikmat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Obligasi Rekap Perbankan yang jumlah totalnya 645 triliun lebih, melainkan para konglomerat yang makin kaya menikmati uang rakyat.

Pilihan membayar bunga obigasi rekap daripada mempertahakankan subsidi BBM yang hanya 25 triliun merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa pemerintah lebih memihak konglomerat ketimbang rakyat menengah ke bawah. Belum lagi inefesiensi BUMN dan hutang Luar Negeri yang harus dibayar oleh rakyat. Sedinya lagi, hutang Luar Negeri yang seharusnya dipakai untuk investasi publik, ternyata digunakan untuk investasi pengeluaran rutin (baca; konsumsi) dengan tingkat kebocoran 40% ke kantong-kantong-kantong pribadi pejabat koruptor.

Sulit dimengerti, bagaimana mungkin rakyat dipaksa memikul beban yang sangat berat, dari mulai menghidupi diri sendiri dan keluarga sampai membayar cicilan dan bunga hutang negara yang dalam APBN Perubahan 2008 jumlahnya mencapai 90,73 triliun. Rasanya sangat tidak pantas bila pemerintah saat ini menyatakan subsidi BBM lah yang membebani keuangan negara. Padahal yang seharusnya jadi pertanyaan adalah mengapa pemerintah yang dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral gagal meningkatkan produksi minyak Indonesia? Padahal, kalau pemerintah mau memutar otak lebih keras dan bekerja lebih maksimal, produksi minyak mentah Indonesia yang belakangan hanya 900.000 barel dapat mencapai 1,2 juta barel. Malahan seperti yang dikatakan banyak kalangan, pemerintah malah memberikan banyak keuntungan dari kontrak-kontrak kepada perusahaan-perusahaan asing yang bereksplorasi di Indonesia.

Oleh karena itu banyak pihak (seperti DPD RI) memandang pemerintah kurang sungguh-sunguh menyeleaikan jalan keluar masalah ini hingga sampai mengambil kebijakan menaikkan harga BBM. Padahal, masih banyak jalan keluar lain yang menjadi alternatif dari pada menambah beban penderitaan rakyat. Diantara solusi yang ditawarkan adalah: penghematan pengeluaran negara yaitu belanja Eksekutif dan Legislatif, renegosiasi pembayaran utang Luar Negeri, peningkatan produksi miyak dalam negeri, meningkatkan pajak progresif bagi sektor-sektor industri, penjatahan volume BBM bersubsidi kepada yang berhak dan yang tidak berhak, mengupayakan peningkatan penerimaan negara di sektor migas, diantaranya dengan mengefesienkan biaya produksi migas, menambah penerimaan negara dengan memobilisasi di sektor-sektor yang selama ini hilang dan tidak jelas, baik itu karena dikorupsi atau yang lainnya seperti BUMN, sektor-sektor underground ekonomi, maupun penyimpangan dalam kontrak-kontrak pertambangan, dan segudang alternatif lainnya.

Terlalu menggampangkan apabila persoalan kesejahteraan untuk kemudian dipertukarkan dengan subsidi BBM yang bahkan nilai subsidi itu sepersekian saja dari angka belanja rutin negara. Bisa dipastikan laju pertumbuhan ekonomi akan lambat sebagai dampak iringan kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM tidak diimbangi dengan kenaikan daya beli masyarakat. Kenaikan BBM menyebabkan jasa kesehatan naik 2,33%, jasa pendidikan 2,45%, angkutan 4,31%, komunikasi 1,7% listrik 4,5%, beras 1,1% dan bangunan 3,5%. Inflasi akan tinggi, dan nilai tukar rupiah akan melemah. Sementara lapangan kerja yang menyerap tenaga kerja dari kalangan miskin gakin menurun yaitu sekitar 1-2 % saja.

Untuk itu diharapkan kepada pemerintah untuk lebih sensitif kepada penderitaaan rakyat. Jangan hanya bisa menyengsarakan rakyat. Menaikkah harga BBM saat ini hanya akan menyelamatkan APBN tetapi mungkin tidak akan menyelamatkan perekonomian dan bangsa. Yakinlah, apabila pemerintah tetap bersikukuh menaikkan harga BBM, niscaya akan semakin menambah jumlah penduduk miskin di negeri ini.

** Penulis adalah mahasiswa FKIP UNTAN, bidang Kebijakan Publik KAMMI KOMSAT UNTAN.

0 komentar: