RSS

Selasa, 13 Mei 2008

BHP ; BUKAN PRODUK COBA-COBA


Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) Untan menimbulkan kontroversi. Berbagai pendapat muncul kepermukaan, mulai dari kalangan dosen, mahasiswa, sampai kalangan luar seperti LSM dan masyarakat.

Begitulah kiranya, kita memang seringkali terkejut dengan kebijakan-kebijakan baru yang dibuat oleh para pengambil keputusan, hingga memacu adrenalin kita untuk protes meski seringkali tanpa tahu isi yang sebenarnya. Ya, kita terbiasa memandang suatu persoalan dari kulitnya saja, tanpa menggali sampai ke akar-akarnya. Hingga pada akhirnya kita meledakkan kemarahan dengan berbagai macam cara, misalnya demonstrasi.

Kita sebenarnya tak layak memandang suatu persoalan secara parsial hingga menyalahkan pihak yang dianggap andil dalam masalah tersebut. Pun demikian halnya dengan dengan masalah BHP Untan. Satu sisi, mahasiswa menyalahkan pihak senat atau rektorat yang dinilai tak transparan soal BHP yang akan diketuk palu. Berikutnya, setelah aksi mahasiwa, giliran rektorat yang menganggap mahasiswa yang kurang etika karena meluapkan kemarahannya dengan kata-kata kotor. Nah, kalau demikian yang terjadi, siapa yang salah sebenarnya?.

Kita tentu sepakat mengacungi jempol bagi mahasiswa yang mencari data secara lengkap terlebih dahulu sebelum melakukan aksi demonstrasi. Kita pun akan sangat apresiasi kepada bapak-ibu pengambil kebijakan apabila konsep dan RUU BHP yang sedang di godok di DPR ini ditransparansikan kepada mahasiswa. Namun, pada kenyatannya ini tidaklah terjadi. Padahal kalau semua punya inisiatif untuk mengkomunikasikan masalah ini, tentu masalahnya tak akan sampai pada tahap adjudikasi mahasiswa yang melakukan demonstrasi pada tanggal 2 Mei lalu.

Penulis memandang wajar bila mahasiswa marah lalu meluapkannya dengan demonstrasi. Karena nantinya merekalah yang akan menjalankan proses perkualiahan. Betapapun, kenyatannya pendidikan dalam “karung” BHP di beberapa Perguruan Tinngi di Indonesia, berdampak pada melonjaknya biaya perkuliahan dengan cara menaikkan biaya per semester. Katakutan itu adalah bumerang. Jika demikian yang terjadi, bisa dipastikan akses pendidikan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi terbatas. Pada akhirnya, Perguruan yang berstatus Badan Hukum akan dihuni anak-anak kelas menengah ke atas, kelas anak-anak “konglomerat.

Sebaliknya, disisi lain, juga pantas rektorat merasa gerah, bila mahasiswa dengan tiba-tiba melakukan demonstrasi tanpa tahu konsep BHP yang sebenarnya. Apalagi kasus yang terjadi belakangan sampai menteror Purek 2 Untan. Sebuah tindakan yang dianggap tidak sopan oleh sebagian besar kalangan Rektorat, mungkin juga kalangan mayarakat, karena yang melakukan ini adalah mahasiswa yang note benenya kalangan terpelajar.

Sebenarnya, privatisasi Untan untuk mandiri dengan berstatus BHP dapat disikapi dengan bijak, tidak menggunakan emosi. Karena hakikat BHP itu sendiri adalah untuk mewujudkan privatisasi Untan sebagai kampus yang professional dan mandiri secara finasial. Ini dapat memacu Untan untuk berbenah, mengejar ketertinggalan dari Perguruan Tinggi Negeri yang lainnya. Dari sebuah diskusi ringan dengan pihak yang berwenang menangani BHP Untan, penulis menyimpulkan bahwa BHP adalah sebuah keharusan bagi semua perguruan Tinngi. Karena dengan status BHP ini, Perguruan Tinggi akan lebih maju, lebih bersaing dengan perguruan Tinggi lainnya, sehingga aset-aset yang ada di Perguruan Tinggi tersebut akan lebih produktif dan berdaya guna.

Jika ada yang mempertanyakan apakah dengan status BHP, pemerintah akan berlepas tangan dari fungsi subsidinya kepada Perguruan Tinggi, jawabnya tidak. Dari diskusi penulis dengan pakar BHP Untan, dinyatakan bahwa Perguruan Tinggi memang akan membiayai sendiri operasionalnya, namun pemerintah tetap mensubsidi Perguruan Tinggi tersebut dari alokasi anggaran pendidikan yang 20 persen. Seperti halnya gaji pegawai dan dosen tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam hal ini tugas Perguruan Tinggi adalah peningkatan SDM Untan diantaranya profesionalisme dosen dalam mengajar melalui pelatihan-pelatihan. Toh ujung-ujungnya mahasiswa juga yang diuntungkan bila dosen mengajar dengan baik. Logikanya, bila hanya mengandalkan subsidi pemerintah untuk membiayai pendidikan, Perguruan Tinggi tak akan maju.

Bila memang terjadi kontroversi beberapa kalangan soal BHP, agaknya perlu dicarikan pertanyaan sekaligus jawaban yang tepat. Dalam hal ini, yang perlu dipertanyakan bukan kenapa Untan harus BHP, tapi sejauh mana kesiapan Untan untuk mandiri dengan status BHP. Kalau pertanyaannya yang pertama jawabannya tentulah ada di UU Pendidikan No. 20 tahun 2003 yang mengatur tentang kewajiban Perguruan Tinggi untuk berstatus BHP. Dan kalau ini yang menjadi masalah, bukan BHP yang harus dikritisi, tapi Undang-Undang SINDIKNAS tersebut. Namun, bila yang ditanyakan pertanyaan nomor 2, ini dirasa cukup beralasan. Karena bila Untan belum siap untuk memegang status BHP, lalu memaksakan diri untuk berstatus BHP seperti PTN lain, ini yang perlu dikritisi. Karena bisa jadi mahasiswa akan menjadi sapi perah untuk membiayai Untan.

Dalam hal ini, siapapun yang mengambil kebijakan tentang BHP Untan nantinya, haruslah mengambil kebijakan dengan sebijak-bijaknya. Kita harus ingat bahwa pendidikan bukanlah komoditi komersialisasi. Jangan hanya memikirkan bagaimana Untan menjadi kampus benefit sementara kantong masyarakat miskin dikuras dengan sekencang-kencangnya. Padahal dalam UUD 1945 telah dinyatakan bahwa salah satu tujuan bangsa ini adalah memberikan pencerdasan kepada seluruh anak bangsa dan bukan kepada sebagian anak bangsa yang mampu membayar pendidikan saja. Kalaupun kemudian disahkan UU No. 20 tahun 2003 tentang kewajiban BHP hendaknya konsep BHP yang maksud dalam pasal-pasalnya tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Karena tidaklah mungkin UUD 1945 yang merupakan dasar hukum tertinggi tunduk dibawah asar hukum di bawahnya.

Solusi dari masalah ini adalah, Untan harus menginventarisir aset-asetnya dan mencari secara jeli sumber daya potensial untuk dikembangkan oleh Universitas. Karena dalam konsep BHP, mahasiswa hanya dibebani 1/3 biaya operasional Perguruan Tinggi. Selain itu, Rektorat berikut pihak yang berwenang menangani BHP ini harus transparan kepada mahasiswa. Sosialisasikan RUU BHP, kalau perlu buat forum terbuka menghadirkan diknas, rektorat dan elemen yang berwenang untuk mengclearkan masalah ini. Jangan sampai BHP menjadi produk coba-coba di Untan yang akhirnya merugikan dan mengeksploitasi mahasiswa. Semoga dengan ini tidak akan ada lagi miskomunikasi dan misinterpretasi.

**Penulis adalah mahasiswa FKIP Untan, Bidang Kebijakan Publik KAMMI Komisariat UNTAN, anggota PRIMAKAPON.

0 komentar: