RSS

Selasa, 27 Mei 2008

Berawal Dari Keadilan

Nasionalisme dalam konteks keberagaman memang sulit untuk diterjemahkan. Disini, kadangkala kita semua harus berusaha menemukan ikatan dasar dari sebuah nasionalisme. Mencoba mencari titik temu yang dapat menyatukan seluruh elemen berikut komponen bangsa ini. Kemudian yang akan kita lakukan adalah melebur dan menyatukannya dalam satu ikatan kebangsaan. Sebut saja namanya Integrasi.

Kita memang belum punya definisi yang baik tentang konsep nasionalisme. Yang kita tahu mungkin nasionalisme adalah perekat dari keberagaman yang selama kini ada. Baik itu budaya, agama, etnis, suku, juga ideologi. Walaupun pada dasarnya, dari simbolisasi tersebut ada kepentingan yang harus disisihkan dan terkorbankan untuk nasionalisme, untuk integrasi, untuk Indonesia kita. Bila masyarakat yang membawa kepentingan itu sudah tak bersedia berkorban lagi atas nama nasionalisme, maka tunggulah, dan hitunglah usia integrasi kita.

Nasionalisme bagi kita juga adalah kesatuan wilayah, tanah dan tempat tinggal. Bagian daerah manapun yang berada diwilayah yang sama dengan kita, merekalah bagian kita. Lalu akan mengikatnya dalam satu nama besar bangsa di bawah ’payung’ nasionalisme.

Negara-negara yang mengalami transisi menuju demokrasi selalu saja mengalami kendala dalam mempertemukan banyak kepentingan dan menjamin kepentingan itu akan terangkul semuanya. Pun sama halnya dengan menjamin kebijakan akan menyentuh semua elemen yang tergabung tadi. Sehingga kebijakan yang akan diambil adalah kebijakan yang menyeluruh dan tidak parsial.

Nasionalisme, memang bukan masalah yang dapat dikatakan sepele. Karena, pada hakikatnya nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralisme sebagai kontek dan wacana utama. Toh, sejarah telah berbicara banyak tentang kegagalan ’payung nasionalisme’ dalam menyatukan hati dan pikiran rakyat yang cukup melankolik. Yugoslavia dan Unisoviet mungkin merupakan contoh yang baik dari kegagalan nasionalisme sebagai faktor perekat. Kita telah menyaksikan parade keruntuhan bangsa yang relatif besar bahkan sangat besar tersebut. Setelah melalui proses yang panjang, kedua bangsa besar tersebut akhirnya pecah dan berantakan menjadi negara-negara kecil.

Papua dan Aceh merupakan gambaran betapa nasionalisme telah ’gagal’ menjadi perekat simbolik kita, yakni kesatuan tanah sebagai tempat tinggal. Sekarang, pertanyaannya adalah Nasionalisme mana yang layak menyatukan dan mengakomodir semua kepentingan pragmatis manusia negeri ini secara langsung?

Keadilan. Itulah ruh nasionalisme kita. Pun, itu yang seringkali terlupa. Setiap waktu, kita tak lupa bicara tentang nasionalisme, integrasi, dan kesejahteraan. Namun dilain waktu kita tak juga bicara banyak tentang keadilan. Pertanyaannya, nasionalisme model mana yang dapat menghadapi segala benturan-benturan hebat dari keberagaman tanpa dasar keadilan. Kalau tak percaya, coba saja pergi ke Papua atau Aceh, dua bagian dari negara ini yang terlalu lama memendam luka atas konsekuensi sebuah nasionalisme. Benarkah ada hubungan antara tuntutan pemisahan diri mereka dengan penerapan syariat islam? Ataukah ada hak mereka yang terzolimi dan tak dibagikan secara adil?

Pola pemikiran bangsa ini seringkali parsial. Karena alasan itu, kesalahan besar yang dilakukan bukan hanya terletak pada dampak yang ditimbulkan oleh pemikiran parsial tersebut, tapi juga utamanya pada kerapuhan sistem pemikiran kita. Bangsa ini memiliki misi besar – dan menghadapi realitas yang sangat kompleks – tapi kita hanya berfikir sangat sederhana tentang nasionalisme. Bangsa ini sepertinya biasa melakukan penyederhanaan yang berlebihan, atau generalisasi yang salah kaprah tentang nasionalisme. Yang hal tersebut menyebabkan kita tak berlaku adil. Mungkin saja kita hanya mengadopsi model-model nasionalisme, dan pada akhirnya kita sendiri tak tahu harus mengambil nasionalisme yang mana.

Mari kita lihat dan kalkulasikan bersama-sama. Aceh dan Papua adalah dua daerah yang terkenal kaya raya, namun nyatanya harus merelakan hati untuk hidup dalam kepapaan dan kemiskinan. Distribusi kekayaan dan kekuasaan lah yang mengusik rasa keadilan mereka. Versi adil menurut mereka tak jua sama dengan versi pemerintah. Jika ingin kesana dan bicara tentang integrasi dan nasionalisme, tunggulah dulu, karena mereka hanya akan bertanya nasionalisme yang mana? Keadilan yang mana? Dan manfaat apa yang mereka dapatkan dengan bergabung dengan Indonesia? Pun, jika sampai hari ini mereka masih menyatu dalam NKRI, pastilah emosi dan luka lama itu akan menunggu untuk meledak kembali, hingga akhirnya separatisme adalah pilihan terakhir.

Bergerak dalam tataran wacana kesatuan saja tak cukup untuk membantu kita mengembalikan ruh nasionalisme. Mengaburkan perbedaan-perbedaan yang ada pada bangsa ini pun bukan solusi yang baik. Lukisan nasinalisme, persatuan kesatuan yang indah itu harus diterjemahkan secara bijak oleh seorang pemimpin. Pemimpin mana saja. Pemimpinlah yang akan mengapresiasikan nasionalisme secara baik dengan semangat keadilan. Sehingga, kita tak bicara pengorbanan mana lagi yang harus dilakukan untuk nasionalisme, atau siapa lagi yang akan berkorban untuk nasionalisme.

Pada akhirnya, semua masyarakat berharap akan menemukan nasionalisme yang selaras dengan kebutuhan pada masa transisisi bangsa kita, dan karenanya kita dapat menghadirkan nasionalisme pada konteksnya yang tepat, pada ruang sejarah yang tepat, dan dengan cara yang tepat.


** Penulis adalah mahasiswa FKIP Untan, Ka. Bid. PSDM PRIMAKAPON.

(this article has been published on Pontianak Post)







0 komentar: