RSS

Senin, 14 Januari 2008

Menyoal Kekerasan Terhadap Anak Di Sekolah


Oleh : Safriyanti*


“Non schole le sed discimus”, sebuah pepatah Yunani yang apabila diartikan secara bebas bahwa sekolah tujuannya bukan untuk mencari skor atau angka-anggka tapi sekolah itu untuk belajar untuk kehidupan bahkan hidup itu sendiri. Kata sekolah itu sendiri, pada dasarnya berasal dari kata skhole, schole atau schola yang bermakana waktu luang atau waktu senggang. Dahulunya, orang-orang Yunani biasa menitipkan anak-anak mereka kepada orang-orang yang dianggap pandai untuk diajari ilmu pengetahuan dan dididik tentang filsafat, ilmu alam, dan sejenisnya. Pada zaman itu, sekolah dipandang sebagai suatu aktifitas yang menyenangkan juga mengasyikkan bagi siswa.

Mencoba membandingkan kondisi persekolahan saat ini. Tak jarang sekolah masih dianggap sebagai beban berat yang menghimpit anak. Sedangkan aktifitas di luar jam pelajaran justru menyenangkan oleh sebagian anak. Adapun di dalam jam pelajaran dianggap membosankan dan membebani. Menurut pengamatan penulis, jika siswa berada di kelas, maka ingin segera mendengar bel istirahat dan keluar kelas secepatnya. Dan jika ada pengumuman pulang lebih awal atau libur, mereka gembiranya bukan kepalang, bersorak sorai, seperti terlepas dari sebuah beban psikologi yang berat dan menghimpit. Hal ini juga seperti yang penulis rasakan saat menjadi siswa bahkan hingga saat telah menjadi “mahasiswa”. Sekolah maupun kampus sama-sama dirasakan sebagai tempat yang membosankan. Keduanya tak lagi menjadi tempat yang nyaman dan diidam-idamkan seperti ketika pertama kali mendaftar.

Seperti halnya yang diberitakan beberapa waktu lalu dikoran lokal ini dalam sebuah editorial, bahwasanya hasil penelitian di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di sekolah sebagian besar dilakukan oleh guru. Hal tersebut bukan berbentuk kekerasan fisik, namun berupa kekerasan non fisik seperti halnya pemberian tugas berlebihan, memaksa anak untuk berkompetisi secara berlebihan dengan memberikan target prestasi yang terlalu tinggi, dan tak jarang memaksa anak harus menguasai mata pelajaran tertentu di luar minatnya, hingga mematikan kreatifitas anak.

Guru masih dianggap sentral dalam pendidikan kita. Oleh karena itu, berbagai kritikan kerap kali ditujukan terhadap guru. Seharusnya hal tersebut menjadi titik tolak untuk mengevaluasi pendidikan yang telah mereka laksanakan di kelas. Karena secara umum, guru lebih tepat disebut melaksanakan mengajar saja dibanding mendidik. Mengajar itupun masih dengan metode tradisional dan konservatif. Akibatnya seringkali otak siswa dijejali dengan berbagai pengetahuan sekehendak hati sang guru dan sekehendak kurikulum dengan dalih siswa harus mendapat nilai tinggi dan lulus Unas. Sementara siswa tak diberi kesempatan berfikir, mencerna, bereksplorasi, apalagi berkreasi.

Wajar kiranya, bila dikatakan bahwa kekerasan di sekolah kebanyakan dilakukan oleh guru. Karena sekolah menyenangkan seperti ketika orang Yunani rasakan dahulu, tidak dirasakan oleh anak-anak di sekolah kita. Di saat guru masuk kelas, yang akan nampak adalah para peserta didik tidak bersemangat, sayu, raganya nampak tetapi pandangannya kosong. Ada lagi yang lainnya sibuk kirim-kirim SMS, baca komik, atau tidur. bisa dibayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, jika guru bertanya apakah ada pertanyaan, maka serentak siswa menggeleng atau diam. Seperti itulah setiap harinya yang terjadi disekolah kita. Namun sayangnya tak banyak guru yang mampu menganalisis kondisi tersebut dan membiarkan kondisi berlarut-larut. Anak didik kita tak merasakan kenyamanan dan kesenangan sepertihalnya yang dirasakan oleh anak-anak Yunani dahulu, sekolah yang menyenangkan dan mengasyikkan di waklu luang, yang ada malah kekerasan non fisik belaka, perasaan tertekan, dan pemaksaan kehendak.

Penulis tak sepenuhnya menyalahkan guru, karena dalam hal ini guru bukanlah satu-satunya agent yang menyelenggarakan pendidikan, karena bagaimanapun guru sering kali harus patuh pada sistem. Dalam sebuah jurnal diceritakan, pernah suatu ketika seorang guru asing mengunjungi sebuah Sekolah Dasar di sebuah negara Asia, yang pada saat itu di sebuah kelas sedang ada pelajaran menggambar. Guru asing melihat ada 60 siswa dikelas itu sedang menggambar kucing seperti yang digambarkan oleh guru mereka di papan tulis. Dengan susah payah siswa meniru apa yang terlihat di papan tulis. Hasilnya, ada 60 gambar kucing yang persis dengan gambar sang guru seni di papan tulis tersebut. Betapa terkejutnya guru asing tersebut, karena di negaranya Eropa, metode yang diajarkan sangat berbeda dengan yang ada di Asia. Di sana, siswa diberikan kebebasan untuk menggambar apa saja, tidak pernah ditemukan guru yang mencontohkan cara menggambar kucing di papan tulis. Hasilnya di ruang kelas tersebut penuh dengan beraneka ragam gambar yang berbeda dengan satu yang lainnya sesuai dengan keinginan dan kreasi siswa. Begitulah cermin pendididikan kita, anak yang memiliki potensi, minat dan kapasitas yang berbeda dipaksa memiliki kemampuan yang sama.

Bila bicara soal sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia, dengan kurikulum yang padat dan kebijakan Unas yang meninggalkan masalah, jelas sudah betapa sistem pendidikan kita telah mengeksploitasi anak didik.. Lewat Unas yang katanya bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan, siswa diharuskan lulus dalam tiga mata pelajaran yang barangkali mereka tak memiliki kemampuan di bidang itu. Konsekuensinya, anak harus pontang panting belajar sesuatu di luar minatnya.

Perlu disadari, anak memiliki bakat, kemampuan, minat dan kapasitas yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mereka tidak dapat dipaksa menjadi jelmaan seperti yang dinginkan oleh guru atau orang tua mereka. Guru maupun orang tua boleh-boleh saja punya obsesi pribadi yang dibebankan dipundak mereka demi masa depan mereka, namun pilihan tetap ada di tangan mereka, karena mereka jauh lebih tahu potensi dan kemampuan mereka sendiri. Oleh karena itu, anak seharusnya diarahkan untuk menjadi diri mereka sendiri dan dimotivasi untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki, hingga ketika dewasa mereka tak akan tunduk dan patuh pada siapapun atau menjadi kuli siapapun yang memiliki obsesi atau kepentingan pribadi. Semoga guru yang merupakan orang tua siswa di sekolah dapat menjalankan fungsinya sebagai tenaga pendidik dan bukan sebagai penindas intelektual siswa.

*) Penulis adalah Mahasiswa FKIP Untan, Wakil Presiden Mahasiswa BEM FKIP Untan aktif di kepengurusan PRIMAKAPON.

Di publikasikan di Pontianak Post di kolom opini pada bulan Desember 2007

0 komentar: