Perahu Kertas. Aku baru saja menyelsaikan buku itu disela-sela kesibukan berbenah diri, dan menyelesaikan satu tugas untuk masa depan. Bagiku, buku ini mengingatkanku pada impian-impian masa kecil. Sesuatu yang seringkali kita lupakan. Padahal, seperti kata Keenan, “ Jalan kita mungkin berputar, tapi satu saat, entah kapan, kita pasti punya kesempatan untuk jadi diri kita sendiri.”
Kalimat itu membuatku merenung dalam. Melihat diriku sendiri, terasa ada hal-hal yang hari ini harus aku kompromikan demi kelangsungan hidup. Demi situasi yang disebut : realita. Namun, selalu ada yang tak boleh dilupakan. Bagi Keenan itu adalah impian menjadi pelukis, bagi Kugy itu adalah cita-cita menjadi penulis dongeng. Bagiku, itu adalah cita-cita untuk memberi inspirasi, membuka jalan, membagi semangat dan keberanian bermimpi pada lebih banyak orang di sekelilingku, lebi-lebih bagi diriku sendiri.
Perahu Kertas memang tak se‘berat’ novel Dee (dewi lestari, red) yang dulu. Ia lebih ‘muda’ dan 'ringan'. Tapi dengan liku-likunya kita diajak berkaca pada labirin cinta yang berkabut. Bukan masalh cinta itu yang harus dibahas habis-habisan, tapi pelajaran hidup yang syarat makna di dalamnya yang dihadirkan dee dengan apik. itulah pusaran energi antara Keenan, Kugy, Remi dan Luhde. Yang pada akhirnya, kejujuran hatilah yang menang. Mungkin menyakitkan, namun pada akhirnya lebih menentramkan. Setidaknya, agar kita tak hidup dalam kepalsuan.
Kepalsuan sebuah hubungan. Kepalsuan sebuah karir. Kepalsuan rasa bahagia. Kepalsuan hidup. Bukankah sebagian kita tenggelam di dalamnya?
1 komentar:
dan kita menikmati kepalsuan itu tanpa berusaha lepas dari belenggunya
tenggelam dalam rutinitas tanpa makna
sekedar menjalani perjalanan
seolah mencapai sebuah tujuan
dan kita tetap tenggelam
Posting Komentar