Memang ketika berbicara UN (Ujian Nasional) dari tahun ke tahun selalu saja kita dihadapkan pada topik yang usang, yang menjadi perdebatan pun masih tetap sama, perlu tidaknya UN. Dari tahun ke tahun Ujian Nasional selalu menjadi polemic yang tak pernah habis untuk dibicarakan. Jika dilihat-lihat dari berbagai media, hampir tak satupun publikasi yang setuju dengan kebijakan Ujian Nasional saat ini. Hanya saja, pemerintah dalam hal ini yang diwakili oleh Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo, benar-benar keukeh agar UN ini terus berlangsung.
Sekian banyak kontroversi berkenaan dengan UN ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tahun ini juga mendapatkan ‘hujan cacian’ dari berbagai pihak. Namun demikian, pemerintah tidak bergeming sedikitpun untuk mengevaluasi efektivitas pelaksanaan UN. Istilahnya, “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Seolah meledek para pengkritiknya, pemerintah malah menambah mata pelajaran yang harus diujikan plus meningkatkan standar nilai kelulusan yang harus dicapai oleh siswa.
Sebuah pepatah Yunani lama yang berbunyi : “Non schole le sed discimus”, yang apabila diartikan secara bebas bahwa sekolah tujuannya bukan untuk mencari skor atau angka-angka tapi sekolah itu belajar untuk kehidupan bahkan hidup itu sendiri. Sekolah pada masa itu merupakan aktivitas yang menyenangkan bagi siswa tanpa beban mencari skor atau angka-angka dramatis (standar nilai). UN nyatanya telah mengeksploitasi hak-hak anak untuk mengembangkan kreatifitas, talenta, dan kemampuannya sebagai makhluk yang unik antara satu dengan yang lainnya. Anak-anak dipaksa untuk mempelajari sesuatu di luar minat dan kemampuannya.
Cukup banyak kasus UN dilapangan yang seharusnya membuat efek jera bagi pemerintah. Untuk kota Pontianak saja ada dua sekolah swasta untuk SMP yang gagal meluluskan semua siswanya, sedang untuk tingkat Menengah Atas ada 4 sekolah swasta yang siswanya 100 persen tidak lulus. Ironisnya Itu terjadi di kota. Bagaimana dengan sekolah-sekolah pedalaman yang jauh dari akses informasi dan fasilitas yang belum memadai? Akhirnya, kita akan menyaksikan banyak sekolah yang ditinggalkan masyarakat, dan hanya memiliki bebebera belas siswa. Grouping dan mergerpun menjadi satu-satunya solusi jika tidak ingin sekolah yang bersangkutan ditutup.
Namun, melalui berbagai media massa pemerintah melakukan pembelaan diri. Seperti hanya argumen wakil presiden JK dan Abu Rizal Bakri yang sempat terekam dalam sebuah media massa: ”Anak harus dibiasakan kerja keras. Jika diberi tantangan atau dituntut dengan syarat kelulusan yang tinggi dan dinaikkan setiap tahunnya, akan membuat anak belajar”. ”Mutu pendidikan meningkat dari tahun ke tahun, hasil UN 2007/2008 lebih bagus dari tahun sebelumnya, padahal tuntutan angka standar kelulusan lebih tinggi dari tahun sebelumnya”.
Bila kita mau mencermati dengan lebih seksama, argumen yang disampaikan oleh wakil pemerintah tadi sebenarnya tidak dilandasi oleh pengetahuan pedagogis yang memadai. Semestinya argumentasi ini dibarengi dengan pertanyaan lanjutan ”bagaimana anak-anak didik belajar?”. dalam hal ini, yang terjadi sebenarnya bukanlah kegiatan belajar, tetapi kegiatan memeras otak melalui drill soal belaka yang nantinya bakal melahirkan generasi ‘pembeo’. Bagaimana mungkin angka dan jumlah kelulusan menjadi indikator mutu sebuah pendidikan? Jika hal ini yang dimaksud dengan mutu pendidikan Indonesia yang makin baik menurut versi pemerintah, maka dapat dikatakan pendidikan kita betul-betul sedang mengalami kemunduran. Mutu pendidikan tidak bisa hanya diukur dari kemahiran siswa dalam menjawab soal-soal UN melalui pendekatan drill ’menghafal’ soal-soal UN yang sifatnya mengingat sementara, bukan dari pembelajaran yang bermakna. Itu semua hanya generalisasi mutu pendidikan yang dibuat pemerintah. Sementara untuk menentukan kualitas pendidikan hanya dapat dilihat di masa yang akan datang, karena pendidikan itu sendiri merupakan investasi jangka panjang.
Permasalahan lain yang muncul bila UN dianggap sebagai hakim penentu kelulusan adalah diorientasi belajar siswa dan mengajar guru. Bayangan tidak lulus adalah hal yang paling mengerikan, apalagi bagi siswa Sekolah Dasar yang ’jalannya’ masih jauh. Walhasil, banyak siswa yang mengikuti bimbingan UN, kursus mata pelajaran, hingga try out. Bagi yang tidak memiliki uang lebih, cukup mengumpulkan soal-soal UN bekas, kemudian belajar dengan sekeras-kerasnya di rumah. Ironisnya, guru dan sekolah juga sering terjebak pada hal yang sama. Pembelajaran yang bermakna beralih menjadi teaching for test. Anak-anak dipaksa untuk menghafal soal dan jawabannya, yang nantinya hanya akan dilupakan seiring berlalunya UN. Jika boleh dikatakan, sekolah dan lembaga bimbingan belajar berubah menjadi lembaga ‘pembonsaian’ karakter anak didik.
Sejatinya, pendidikan jauh melampaui aspek kognitif (pengetahuan), yaitu aspek attitude (sikap) dan skill (praktik). Jika di dalam UN yang dinilai hanya aspek kognitif saja dengan sistem katrol ’standarisasi’ nilai, maka pendidikan nyatanya kehilangan jati dirinya. Nilai mungkin menjadi salah satu aspek penting yang ikut menentukan baik buruknya pendidikan kita. Hanya saja hendaknya hal itu bukanlah menjadi satu-satunya aspek penilaian kelulusan siswa. Karena semestinya pendidikan merupakan tempat penanaman nilai-nilai yang akan diejawantahkan dalam kehidupan siswa. Tapi, saat ini, yang lahir dari rahim pendidikan justru output yang prematur dan tak jelas orientasinya.
Standarisasi sendiri merupakan suatu bentuk pemahaman yang beranggapan segala sesuatu dapat diukur. Standar nasional pendidikan idealnya diperlukan untuk mengukur kualitas pendidikan secara nasional, pemetaan permasalahan pendidikan secara nasional, sehingga dapat dijadikan dasar dalam menyusun rencana strategis penyelenggaraan pendidikan selanjutnya. Namun saat ini, bila kita lihat bersama kondisi pendidikan kita, banyak aspek-aspek yang belum standar, sehingga standarisasi belum dapat dilaksanakan. Kondisi bangunan sekolah yang berbeda, sarana prasarana yang berbeda, fasilitas yang berbeda, akses informasi yang berbeda, kualitas guru yang berbeda tentu menjadi penghalang untuk serta merta membuat standarisasi melalui UN.
Barometer baik buruknya kualitas pendididikan dapat dilihat langsung oleh pihak yang terjun langsung di dalamnya. Dalam hal ini guru merupakan sosok yang paling memahami kondisi dan capaian-capaian yang diraih oleh semua peserta didik. Gurulah yang berhak melakukan penilaian secara objektif dari setiap capaian siswa dengan ragam metode penilaian. Penilaian seperti ini merupakan penilaian berbasis kelas dengan melihat tiga aspek pembelajaran yaitu kognitif, attitude dan skill. Hasil penilaian gurulah yang akan menentukan lulus tidak lulusnya siswa.
Terkait UN sebagai alat penentu kelulusan, sistem penilaian porto folio juga layak untuk dikaji dan dipertimbangkan sebagai alat penentu kelulusan siswa. Penilaian ini lebih objektif dalam menggambarkan diri peserta didik sebagai siswa dengan kapasitas pribadi yang berbeda-beda dari pada UN. Hal ini tentunya akan memberdayakan guru secara optimal karena guru dituntut untuk bekerja keras agar dapat memberikan penilaian secara objektif. Sebuah logika yang kurang logis, bila selama ini pemerintah ingin memberdayakan guru tapi justru yangdilakukan adalah usaha-usaha pengkerdilan potensi dan hak guru sebagai pendidik.
Dari uraian di atas, efektifitas UN semestinya perlu dievaluasi ulang dan dikaji secara mendalam. Mengingat saat ini banyak permasalahan UN yang terjadi. Mulai dari cacatnya landasan hukum UN hingga dampak penyelenggaraannya di lapangan. Sebagaimana malpraktik kesalahan diagnosis sebuah penyakit yang dilakukan oleh seorang dokter dapat mengakibatkan kematian pasien, kesalahan berfikir dalam menggagas pendidikan nasional juga akan membawa petaka bagi SDM masa depan bangsa ini.
3 komentar:
weleh, pedahal beberapa minggu lalu dini mo buat tulisan tentang ujian nasional dari sudut pandang seorang dhz hehe.. tapi pending melulu..
anyway, kalo menurut dini siy kak ye, ujian nasional tu sebetulnya ndak usah dijadikeun standar nasional kelulusan. kesian anak orang, kesian orang tua, kesian guru juga, seakanakan bebannya bertambah... emank siy kita smw pd tau bahwasanya sudah merupakan kewajiban setiap insan manusia untuk belajar, mendapatkan hal baru di atas muka bumi ini. namun, jikalau melihat 'pemaksaan' untuk meraih nilai tertentu, waduwh kesian anaknye... bawaannye pesimis jak teros, khawatir ndak lulus..
tapi, dibalik itu semua, ujian nasional sebagai standar kelulusan kadang kala, mungkin dianggap sebagai mereka yg mengambil kebijakan yg agak kurang bijak ini *skali lagi, mungkin* sebagai langkah tepat mengeliminasi jumlah nepotisme yg terjadi di beberapa sekolah.
dini baru tau setelah akan selesai PPL kemarin, wuiiih buanyak titip sini titip situ untuk perihal nilai. hmm.. sekali pas kena ujian, kan gimane care nitip nilai anak keluarge, anak teman, dan anak entah siape siape :D
wadoh, kok jadi ngeblog di halaman komen orang lagi ni dini hehe...
yeah, sekian dan terima kasih, dan tiada kesan tanpa kehadiranmu...
regards,
dhz
sepakat kak anty dini. pemerintah emang selalu merasa lebih pintar. payah...
negara justru mengebiri hak warganya untuk mendapat kan pendidikan.
padahal seharusnya negara yang bertanggung jawab memenuhi hak setiap warga negaranya. paaaayaaah
keep writing yah...
Posting Komentar