KEBAHAGIAAN… You call it Happiness in English…
But actually, have you ever gotten the real happiness? I don’t know. You’ve known d answer. But, don’t ask me about that. I’m trying, still trying to translate that word correctly….in my own way… What about you?
Lelaki itu pergi menjauh… dengan terbata-bata ia kembali mendorong gerobak sampahnya yang terlihat penuh dengan sampah, hasil jerih payahnya mengumpulkan sampah dari satu bak sampah ke bak sampah lainnya. Mungkin ia melakukan ini setiap hari, dari pagi hingga siang seperti saat ini.
Siang ini panas matahari begitu terik. Ku lihat keringat laki-laki itu bercucuran, nampak membasahi baju tipis lusuh yang aku pun tak tahu lagi warnanya, mungkin putih, tapi mungkin juga abu-abu, kumal. Ku yakin, laki-laki yang kini berada di hadapan ku bukanlah laki-laki biasa, yang menghabiskan waktunya dengan santai. Ku lihat postur tubuhnya yang ringkih, hitam khas pekerja keras, penuh dengan keriput di sana sini. Terbayang olehku bagaimana ia berjuang setiap hari, mengais-ngais sampah dari satu tong sampah ke tong sampah lain di jalanan untuk beberapa ribu rupiah, menghidupi keluarganya. Jika tidak, bagaimana mungkin laki-laki yang layaknya disebut kakek itu masih berada di jalanan nan panas seperti ini, bukan bersama keluarga, istri, anak-cucu, sedang bercanda atau makan siang dengan mereka hari ini. Itulah mungkin alasan kenapa aku berada di sini, di sebuah sudut jalan untuk menemuinya setelah sempat putus asa mencarinya, mengitari jalan tempat tadi aku berpapasan dengannya.
Pertemuan yang tak di sengaja memang. Saat aku pulang dari pasar, aku melihatnya dari jauh. Aku takjub. Ku lihat ia dengan sekuat tenaga mendorong gerobak sampahnya yang berat itu menyeberangi jalan yang ku lewati. Entah kenapa, ada yang terasa perih di hati ini. Pemandangan seperti ini memang bukan untuk pertama kali ku saksikan, tapi betapa aku tak berani menuruti kata hatiku. Aku lebih sering membiarkan mereka berlalu. Begitu pun kali ini. Aku membiarkan saja laki-laki pemulung itu berlalu sedang aku kembali melanjutkan perjalanan untuk pulang ke rumah. Tapi tak tahu kenapa, ada yang teramat sakit di hati ini, dan aku menangis tiba-tiba saja, aku pun tak tahu mengapa aku menangis. Ku putar kembali motorku. Kembali menyusuri jalan yang sama, jalan di mana aku bertemu dengan kakek pemulung tadi, berharap ia masih di sana.
Lelah aku menyusuri jalan itu, tapi aku tak menemukannya lagi. Aku pun terpaku di pinggir jalan, putus asa. Ku pikir sebaiknya aku pulang saja. Tapi… hei… tunggu dulu, aku kembali menemukan sosok itu sedang berhenti di pinggir jalan seberang. Dia berhenti sebentar mengelap keringatnya lalu kembali mendorong gerobak sampahnya. “Alhamdulillah…”,lirihku. Aku kembali mengejarnya, walau jalan yang kulewati lumayan berputar untuk sampai ke tempat ia berada. Ku lihat ia terkejut saat aku dan kendaraanku parkir di depannya. Aku menyapanya. Aku sempat bingung bagaimana harus menyapanya. Ku lihat ia begitu tergesa-gesa, seperti ingin mengatakan padaku “kenapa berhenti di sini” atau “permisi saya mau lewat”. Tanpa basa basi aku menyodorkan beberapa lembar uang kertas yang sedari tadi ada dalam genggamanku. “Maaf pak, ini buat bapak, diterima ya…”, kataku lirih, sambil takut-takut kalau ia tersinggung dan menolaknya. Aku salah. Ku lihat ia sumringah, tersenyum, memamerkan barisan giginya yang kelihatan hitam sambil menerima uang yang tak seberapa nilainya itu. “Terima kasih mbak…”, balasnya. Tanpa banyak bicara ia pergi meninggalkan aku yang terpaku di pinggir jalan sendirian. Ia menjauh, terbata mendorong gerobaknya. Tapi entahlah, bagaimana harus ku definisikan perasaan ini. Yang ku tahu bahwa aku teramat senang, teramat bahagia hingga aku lupa menanyakan nama bapak pemulung yang baru ku temui itu, juga tak sadar bahwa ada bapak pemilik ruko tempat kami berdiri yang sedari tadi memperhatikan kami.
Ini hanya sedikit kisah “kecil” di perjalanan. Tentang bagaimana kita menterjemahkan kebahagian menurut versi kita masing-masing. Mungkin setiap orang punya defenisi yang berbeda tentang kebahagiaan. Sebagian mendefinisikan kebahagiaan sebagai hidup yang mengalir tanpa hambatan, posisi yang bagus di tempat kerja, financial yang memadai, rumah dan berikut property yang bisa diandalkan, suami/istri yang mencintai, anak-anak yang lucu dan patuh, etc. Mungkin, itu mungkin kebahagiaan. I’m sure everybody loves those.. Tapi entahlah, saya hanya merasa kadang kita terjebak dengan kebahagiaan yang sifatnya materialis. Kita terbiasa mendefinisikan kita bahagia karena kita tak lagi berpusing2 memikirkan bagaimana mengisi perut hari ini… sementara banyak orang disekitar kita yang “tak bahagia” karena urusan perut masih menjadi menu harian yang harus dipikirkan, dan entah kapan berakhir atau mungkin tak pernah berakhir.
Tulisan ini hanya sebuah intermezo dalam perjalanan, tentang bagaimana kita memaknai kebahagiaan kita masing2. Saya yakin setiap orang berhak membuat definisi bahagia itu... tapi yakinlah dengan sedikit rezeki (kebahagiaan) yang kita bagikan untuk orang lain, maka hati kita akan lebih bahagia....
”Di suatu siang yang gerah”
written from one's experience
2 komentar:
kalau untuk dini, kebahagiaan itu, dengan jelas tertulis disini kak :)
*skalian promosi tulisan hehe*
Kalo untuk dini, arti kebahagiaan itu ditemukan di sini
hehe...
*skalian promo tulisan* :D
Posting Komentar