Ceritanya, artikel ini dibuatnya kira-kira 2 bulan lalu, lalu nyoba dikirim ke salah satu koran di Pontianak. Simple aja, idenya dapat sewaktu pulang ngeles, trus liatin sat Pol PP yang lagi menertibkan PKL.
Udah yakin banget gak bakalan terbit, eh...tiba-tiba banyak yang sms, bilang selamat tulisannya terbit. walah...orang saya sendiri aja gak tahu... padahal sudah lama dikirimnya... Ya, semoga bs buat pencerahan bg kt semua...
Oleh: Safriyanti
PKL (Pedagang Kaki
Namun, kehadiran PKL khususnya di kota-kota besar sepertinya masih menjadi momok sekaligus PR pemerintah
Kategori pedagang kaki
Dari segi perekonomian, sektor informal yang di’anak tirikan’ ini cukup memberikan andil besar. Hal ini terbukti dari jumlah nasabah BMT (Baitul Maal Wattamwil) ataupun CU (Credit Union) yang sebagian besar berasal dari pedagang kaki lima dan masyarakat menegah ke bawah. Umumnya, pinjaman yang dilakukan tidak begitu besar, antara 500 ribu sampai satu juta rupiah. Sehingga pengembaliannya dapat dilakukan dengan lancar.
Secara kuantitatif, keberadaan PKL di
Suatu kali, penulis pernah menyaksikan sendiri kegiatan penertiban yang dilakukan oleh petugas Kamtib, di jalan H. Rais A. Rahman. Pembongkaran yang dilakukan menyedot perhatian banyak orang yang sedang berlalu lalang. Saat itu petugas penertiban sedang membongkar gerobak pedagang kaki
Menurut penulis, meskipun keberadaan PKL sendiri kebanyakan belum terdaftar, tercatat dan belum berbadan hukum, tapi alangkah baiknya jika penertiban dilakukan dengan cara-cara yang lebih persuasif dan humanis. Bagaimanapun, penertiban membuat mereka kehilangan mata pencaharian. Sedikit menyesalkan apa yang sering terlihat dan diberitakan di koran-koran tentang penertiban yang dilakukan, yang menimbulkan sinyalir dari masyarakat bahwa pemerintah seperti tidak berniat melindungi pedagang kecil. Upaya dialogis antara pemerintah dan pedagang kaki
Sejauh ini, kita melihat sendiri betapa sektor formal yang tampak heboh dan glamor itu tidak dapat survive sendiri tanpa sektor informal. Contoh kecil keberadaan mall sebagai pusat perbelanjaan modern saat ini. Kenyataannya, tidak semua masyarakat kita sepenuhnya mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berbelanja di mall saja, apalagi bagi mereka yang kelasnya menengah kebawah. Kadang masyarakat lebih merasa nyaman dengan berbelanja barang pelengkap di pinggir-pinggir jalan. Lebih mudah ditemukan dan biasanya harganya lebih terjangkau.
Kenyataannya, PKL memang sektor informal dengan legalitas yang dipertanyakan, mereka menggunakan lahan di luar kebijakan pemerintah, mereka terkadang juga mengganggu keberadaan prasarana lainnya. Masalah PKL memang masalah yang pelik, tapi penulis yakin pasti hal ini bisa diselesaikan tanpa harus melanggar hak asasi para PKL maupun merugikan pemerintah dan masyarakat lainnya. Jangan hanya karena alasan legalitas, lalu sektor informal disisihkan.
Seharusnya sektor formal dan informal tidak dibedakan atau dipisahkan, tapi dibuat rentangan usaha. Bagaimanapun kedua sektor tersebut saling topang. Jika dikembangkan, keduanya dapat menjadi satu kesatuan yang utuh dalam menopang perekonomian masyarakat. Karena, pembagian kerja dalam masyarakat merupakan suatu tanda manajemen yang baik. Dan setiap unsur yang bermain di dalamnya memiliki perannya masing-masing sekecil apapun bentuknya, tak terkecuali peran pedagang kaki lima. Kejelasan tempat berjualan, pembinaan, dan pendekatan persuasif akan lebih efektif ketimbang kekerasan
0 komentar:
Posting Komentar