Nikah. Satu topic yang membuat saya cukup canggung saat menuliskannya. Tapi karena ini permintaan seorang teman, akhirnya saya memberanikan diri untuk sedikit bicara tentang pernikahan. Kata teman-teman saya ini topic ‘berat’, juga bagi saya. Sekali lagi tulisan ini hanya persepsi seorang ‘saya’ yang masih jauh dari referensi. Maklum, saya ini bukan ustadz, atau orang yang punya kafaah syar’i soal pernikahan dan membangun rumah tangga, apalagi orang yang punya pengalaman pribadi soal ini. So, bagi siapapun yang membaca tuisan ini dan kurang setuju, monggo…untuk memberikan masukan dan meluruskan pemahaman saya ini.
Sejujurnya tema ini sedang hangat-hangatnya di telinga saya. Dan cukup menarik perhatian saya baru-baru ini. Semua memang salah teman-teman saya yang umurnya sudah pada mau 25-an itu. Kalau sudah ‘ngumpul’, tema ini cukup menjadi salah satu tema ‘populer’ diskusi kami. Eit, jangan salah paham dulu… yang menjadi bahan diskusinya insya Allah masih dalam batas koridor yang wajar menurut saya, tidak macam-macam..
Ya gitulah, mungkin memang sudah waktunya bicara soal pernikahan, hitung-hitung sebagai upaya mempersiapkan diri hingga sampai waktunya. Mau tidak mau, karena suatu saat saya dan anda akan menjalaninya juga. Bukankah sesuatu yang dipersiapkan akan lebih sukses dari yang tidak dipersiapkan? Sebenarnya ada sedikit kelucuan dari teman-teman saya yang ‘lugu’ itu saat bicara soal menikah. Mulai dari criteria pendamping hidup, prosesi pernikahan, hingga urusan mengelola rumah tangga (kayak udah pada berpengalaman semua ^_^, padahal…)
Yang paling menarik dari tema ini adalah soal criteria pasangan. Maklum, yang ngomong ini para idealis dan para sarjana atau hampir sarjana, yang keluar pastinya pandangan2 ideal dan perfeksionis pula. Terlepas dari itu semua, saya jadi teringat perkataan seorang ustad: “perempuan itu kalo disodorkan pasangan kalau umurnya masih 20-an komentarnya ‘siapa kamu?’. Nah, kalo udah 25-an ke atas komentarnya ‘siapa sih?’ dan kalau udah 30-an akan menjadi ‘siapa aja’.” Gubrak…!!! Ngeri bener ya. Maksud saya ngeri membayangkan nasib perempuan yang telat nikah karena kesalahannya di masa lalu menetapkan standar yang terlalu tinggi.
Apakah salah menetapkan standar yang tinggi? Tidak, menurut saya. Manuasiawi dan wajar malah. Mengapa tidak boleh menginginkan yang terbaik untuk hidup kita. Apalagi someone ini nantinya akan mendampingi seumur hidup kita. Seumur hidup, bayangkan!. Laki-laki atau ikhwan saya rasa juga begitu. Pastinya criteria calon istri yang diidamkan tentulah perempuan baik2(sholehah), cerdas, pinter masak, bisa ngurus rumah dan ngurus anak, dst, dll, dsb (si laki2/ikhwan pastinya lebih tahu).
Suatu hari teman2 saya nanya, apakah saya juga punya criteria? Soalnya, menurut mereka saya ini yang paling sedikit commentnya kalo udah bicara tentang pernikahan. Jawabannya pasti punya, sama seperti mereka juga anda. Gini2, kita tak ingin sembrono alias sembarangan. Tapi pertanyaan selanjutnya yang mesti dijawab adalah ‘Siapa sih kita?’ ‘hafalan quran kita berapa juz?’, Jika sholeh/sholehah menjadi criteria utama kita, apa yakin kita benar2 baik untuk mendampingi orang yang baik (sholeh)? Apa kita juga ‘on criteria’ atau standarnya kita malah ketinggian padahal kita Cuma ordinary person(baca; orang biasa)..ups,
“Saya ini mahasiswa, jadi nikahnya yang sama mahasiswa juga donk, calon sarjana, yang punya masa depan jelas”, kata teman saya suatu waktu. Teman saya yang lain nyambung “Kalau saya kan orangnya mobile, aktivis, banyak amanah, musti nyari yang mobile dan produktif juga donk…”. Tapi ada satu teman yang bikin saya kagum berat sama belio, dia bilangnya gini :”Saya sih siapa saja boleh, asal yang bisa menjaga saya dan keluarga saya, bisa menuntun saya lebih sholeh, dan saya siap2 aja mau hidup dimanapun dan bagaimanapun”. Walah…saya jadi malu sendiri mendengarnya, soalnya saya ini belum bisa seikhlas itu.
Sekali lagi, saya rasa tidak ada salahnya menentukan standar. Islam juga mengatur hal ini, bahwa sekufu atau kesetaraan dalam memilih pasangan mutlak diperlukan. Namun, jangan sampai ini malah menyulitkan kita sendiri. Ujung2nya telah nikah karena tak kunjung menemukan pasangan ‘on croteria’ itu. Karena kata guru ngaji saya menikah itu adalah menggenapkan separuh agama. Kenapa ‘separuh’ yang diungkapkan, karena diri kita ini memang tak sempurna. Menikah adalah momentum untuk saling melengkapi ketidaksempurnaan tadi. Saling mensupport, saling mengisi untuk lebih produktif, tumbuh dan berkembang bersama-sama istilahnya. Seperti tulisan teman saya di blognya “Cinta ibarat menunggu bus”, jangan sampai deh kita melewatkan bus2 yang kelihatannya kurang nyaman, sesak, panas, hanya untuk menunggu bus2 yang nyaman, sepi penumpang, agar lebih adem, padahal kita tak pernah tahu kapan bus seperti itu akan menjemput kita…
Sekali lagi, tulisan ini persepsi saya pribadi. Yang pastinya, saya ini tidak fakar soal nikah, membina rumah tangga apalagi mengurusi anak… :-). Intinya jauh tidak berpengalaman dari anda semua. Hanya berusaha lebih produktif dengan menulis apa yang menurut saya perlu untuk dituliskan dan dibagi bersama. Selebihnya, seperti yang diajarkan teman saya yang arsitek itu, kita kembalikan pada yang Maha Tahu saja. Wallahualam…
Terinspirasi dari sahabat seperjuangan, ‘bro’ crew, terimakasih banyak atas diskusinya yang membuat saya surprise, kagum, gembira, dan lucu sendiri sendiri… tapi tetap penuh ‘ide’ dan cukup berisi…
katanya Krisdayanti “aku tak mau jadi tuna cinta, ” so, siapa yang mau duluan…???
Teman sehatiku, ukh Vitha, ini persembahanku...jangan diketawain ya...;)
4 komentar:
uhuk, dua orang yang ngaku bukan pakar sedang bicara nikah ^_^
jadi"on criteria" mu apa??
ntar aku carikan :D
Yup, tak salah idealis, cuman tetap idealis dalam aturan yang benar, sesuai aturan Islam..
dan ALLAH akan memberikan seseorang sesuai keadaaan kita.
Ternyata punya ternyata... sama sekali tidak di sangka...
ayo, sebar undangannya dulu, rela deh dilangkahin.. he23x
Vitha: halah, mau mencarikan apa minta dicarikan? heh heh... cari buat diri sendiri dulu, meh. baru cariin aku.:)
Anonim: Kayaknya 'anonim' yang komen ini orang BPK ya? Betul gak mbaK? pantes SMS nya tadi malam rada nganeh gitu...
Minta cariin juga mbak? poto copi KTP, SIM dan ajazahnya ya mbak uul..
hmm, nikah lagi.. komen dini idem jak lah dengan yang di blog kak vita hehe..
Posting Komentar